Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudah Waktunya Indonesia Rekayasa Benih Sendiri

Kompas.com - 28/09/2012, 17:37 WIB
Brigitta Isworo Laksmi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah waktunya Indonesia mengembangkan benih produk rekayasa genetika sendiri sesuai dengan kebutuhan penduduk. Jika benih didapatkan dari negara lain dengan pengaturan mengikat, hal itu hanya menciptakan ketergantungan, sedangkan manfaatnya belum pasti.

Hal itu mengemuka dalam percakapan dengan Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Endang Sukara serta Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, yang akrab dipanggil Ayip, Kamis (27/9/2012), di Jakarta.

Endang menyatakan, petani Indonesia pandai memuliakan tanaman. ”Mereka biasa memilih benih dengan tujuan mendapatkan benih yang lebih unggul. Keanekaragaman hayati tanaman padi sebelum Revolusi Hijau juga terjaga. Petani bebas menanam jenis padi apa saja, dan mereka baik-baik saja,” ujar Endang.

Jenis padi kemudian berkurang drastis tahun 1970-an saat Indonesia ikut menerapkan Revolusi Hijau. ”Ketika itu, pengetahuan lokal petani dicerabut karena pemerintah mengharuskan petani menanam benih dari pemerintah,” kata Endang.

Awal bulan ini, Komisi Keamanan Hayati menyatakan, produk rekayasa genetik (PRG) pakan jagung RR NK603 dan Bt MON89034 aman.

Tentang PRG, ia menegaskan, ”Sebaiknya penyisipan gen dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Mereka sudah mampu. Selain itu, gen sebaiknya diambil dari milik kita sendiri. Kita sebagai negara megabiodiversity amat kaya akan sumber daya gen. Pembuatan PRG harus terarah, yaitu harus pro-petani, pro-keanekaragaman hayati. Artinya, aman untuk keanekaragaman hayati kita dan pro-kesehatan,” paparnya

Ketergantungan

”Kalau yang membuat negara lain, produsen akan mendorong kita untuk menyesuaikan kebutuhan kita dengan produk yang dia produksi. Kita akan terkooptasi oleh perusahaan karena harus membeli dari dia terus. Kita menjadi tergantung,” tutur Ayip.

Menurut dia, secara alamiah setiap jenis tanah hanya cocok untuk jenis benih tertentu. Apabila dipaksakan harus membeli benih produksi luar negeri, hal itu akan menyebabkan ketergantungan. Sebab, setiap kali tanam, benih harus dibeli lagi, tidak boleh menggunakan benih tanaman yang dipanen petani.

”Dulu, tahun 1960-an, ketika tak ada ketergantungan pada perusahaan, petani bisa menanam hingga 1,9 juta jenis tanaman. Sementara industri hanya 72.500 jenis dan pemulia tanaman Revolusi Hijau hanya menghasilkan 8.000 hasil silangan,” ujar Ayip.

Menurut dia, petani memiliki kemampuan berproduksi yang luar biasa dibandingkan dengan perusahaan. Ia mencontohkan, petani kecil memelihara dan memuliakan 40 spesies ternak dan hampir 8.000 hasil silangan. Adapun industri hanya memelihara lima spesies ternak dan kurang dari 100 tanaman hasil pemuliaan.

Untuk tanaman pangan, petani memuliakan 5.000 tanaman pangan dan menyumbang 1,9 juta varietas pada bank benih dunia. ”Sementara industri hanya 150 jenis,” kata Ayip. Dia masih mengemukakan beberapa contoh lagi dengan perbandingan produktivitas senada.

Terkait dengan Hari Tani yang diperingati pada 24 September, kemarin, 10 lembaga non-pemerintah, antara lain Aliansi Petani Indonesia, Bina Desa, KRKP, dan Serikat Petani Kelapa Sawit, mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman kepada Mahkamah Konstitusi.

Mereka mengajukan Pasal 5, 6, 9, 12, dan 60. ”Undang-undang tersebut lebih berat kepada industri,” ujar Ayip. Pasal 9 mengatur pemuliaan tanaman yang ditetapkan dilakukan oleh pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com