Sukabumi, Kompas -
Salah satunya dalam penandaan burung, Indonesia masih memakai metode konvensional. Caranya, memasang semacam bendera kuning di sayap.
”Hingga tahun 2004, kita (Indonesia) masih yang pertama dan termaju dalam konservasi elang, khususnya pelepasliaran dan rehabilitasinya. Thailand dan negara lain belajar pada kita. Kini, kita tertinggal,” kata Gunawan, pengelola Suaka Elang, seusai memaparkan upaya konservasi elang dalam kunjungan wartawan ke Chevron Geothermal Salak Ltd, yang difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup, Selasa (18/9), di Sukabumi, Jawa Barat.
Di Thailand, pemantauan
Indonesia pernah menggunakan teknologi berbasis sinyal transmiter. Namun, sejak 2009, upaya itu berhenti karena baterainya hanya bertahan dua tahun dan pabriknya tutup. ”Kini, kami menggunakan bendera saat pelepasliaran. Masyarakat sekitar pelepasliaran kami andalkan mengamati elang,” ujarnya.
Metode ini sangat terbatas dan kurang akurat. Namun, metode serupa akan kembali digunakan Suaka Elang, November mendatang, saat melepasliarkan seekor elang di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).
Pengadaan alat pemantau burung berbasis satelit mahal. Harga satu transmiter yang dipasang pada burung mencapai 4.000 dollar AS (sekitar Rp 40 juta). Ini belum mencakup alat penerima sinyal.
Kepala TNGHS Agus Priambudi mengatakan, anggaran pemerintah sangat terbatas. Oleh karena itu, pihaknya memaksimalkan potensi untuk melindungi area konservasi lebih dari 110.000 hektar, salah satunya dengan meminta Chevron Geothermal Salak (CGS) membantu pemantauan satwa melalui pemasangan
Manajer Policy, Government, and Public Affair CGS Ida Bagus Wibatsya menyatakan, pihaknya sedang menyiapkan tiga