JAKARTA, KOMPAS.com - Air bersih di perkotaan semakin sulit tersedia karena tingginya pencemaran. Pengolahan air sederhana kadang tidak mampu mengolah air sungai atau dari sumber lain menjadi air bersih.
Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menerapkan dan mengembangkan teknologi biofiltrasi dan ultrafiltrasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Biofiltrasi beda dengan filtrasi biasa. Filtrasi hanya menyaring kotoran yang melayang kalau bio memakai mikroorganisme. Mikroorganisme itu yang akan menguraikan kotoran yang terlarut," kata Dr. Rudy Nugroho, perekayasa BPPT, yang mengembangkan teknologi ini.
Teknologi biofiltrasi sebenarnya diaplikasikan sebagai pre-treatment sebelum air diolah dengan pengolahan air biasa, yang meliputi penyaringan, penyesuaian pH, penjernihan dan penambahan klor. Biofiltrasi didasarkan pada banyaknya limbah organik di air.
Rudy menjelaskan, teknologi biofiltrasi sebenarnya sederhana. "Kita tempatnya media sebagai tempat tumbuh bakteri. Medianya disebut sarang tawon. Prinsipnya, bagaimana mikroba yang menguraikan organik itu banyak. Kita bikin luas permukaan besar."
Untuk membuat luas permukaan besar, media dibuat memiliki banyak lipatan, Masing-masing lembaran PVC dilengkungkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai sarang tawon seperti namanya.
Inokulasi mikroorganisme tidak diperlukan sebab mikroorganisme secara alami telah tumbuh di air. Jenis mikroorganismenya antara lain Nitrosomonas dan Pseudomonas. Yang dilakukan di sini hanyalah membuat "rumah" tempat tinggal "gelandangan" mikroorganisme.
Menurut Rudy, proses biofiltrasi berlangsung selama 30 menit hingga 1 jam. Selama proses ini, air yang diolah terus mengalir. Bakteri yang ada akan mereduksi zat organik, membersihkan air.
Pengaturan bisa dilakukan sehingga air berada di tangki biofiltrasi selama waktu yang diperlukan. Setelah proses biofiltrasi, air siap diolah seperti proses yang biasa dilakukan.
Biofiltrasi telah diaplikasikan di PAM Taman Kota, Jakarta. Instalasi pengolahan air itu memakai air dari kawasan Pesanggrahan yang berwarna hitam dan kualitasnya buruk. Selama bertahun-tahun, PDAM tersebut non aktif.
"PAM itu tutup, tidak berani dioperasikan. Kalau dioperasikan airnya pun kotor sehingga masyarakat komplain. Berkat biofiltrasi ini, PAM itu bisa beroperasi lagi," papar Rudy saat ditemui Kompas.com, Rabu (12/9/2012).
Pusat Teknologi Lingkungan memulai riset aplikasi biofiltrasi untuk pengolahan air sejak tahun 2008. Tanggal 25 Juni 2012 lalu, uji perdana dilakukan.
Sementara 6 September 2012 lalu, penggunaan biofiltrasi diresmikan dalam pengolahan air di Jakarta diresmikan oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA).
Rudy mengatakan, Instalasi PAM di Cilandak, Jakarta selatan, juga kini berminat menggunakan teknologi biofiltrasi itu. Teknologi biofiltrasi memungkinkan pengolahan air dengan kualitas sangat buruk dari sumber air manapun menjadi air yang layak dikonsumsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.