Sonya Hellen Sinombor
Dalam kompetisi itu, Aji dan kawan-kawan mempresentasikan proposal ”Lusimart Usaha Pemasaran Lusi Dry Cell Battery Berbahan Dasar Solid Brown Electrolyte Mix Lumpur Lapindo Sidoarjo”.
Ide menciptakan baterai dari lumpur berawal dari keprihatinan Aji bersama Umarudin (keduanya dari Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Yoga Pratama (Fakultas Ilmu Keolahragaan), dan Oki Prisnawan Dani (Fakultas Ekonomi) terkait luapan lumpur panas akibat pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, tahun 2006. Hal itu menimbulkan kerugian besar dan penderitaan masyarakat.
”Kami menawarkan solusi dengan memanfaatkan lumpur sebagai bahan baku pembuatan sel kering elektrolit pada baterai,” kata Aji, Senin (6/8) di Semarang, menjelang keberangkatan ke Bandung untuk menghadiri acara Hari Kebangkitan Teknologi Ke-17 sekaligus menerima piala dan hadiah dari Kemenristek atas karya mereka.
Nama Lusi pada baterai itu diambil dari kata lumpur Sidoarjo. Hal itu untuk mengingatkan orang terhadap asal bahan baterai itu. Mereka membuat baterai karena merupakan sumber energi paling praktis dan murah saat ini.
Bulan Januari lalu mereka mendatangi lokasi di Sidoarjo untuk mengambil contoh lumpur dalam bentuk encer, semi padat, dan padat. Para mahasiswa itu melakukan penelitian selama tujuh bulan.
”Lumpur yang menyembur dekat laut pasti mengandung garam. Setelah kami teliti, kadar garamnya 40 persen. Selain itu, ada beberapa logam untuk pembuatan baterai. Salah satunya, mangan (Mn) dengan kadar 67 persen. Logam ini berfungsi sebagai pengantar ion,” kata Aji.
Lusi dry cell battery
Proses pembuatan baterai dilakukan secara manual. Mula-mula para mahasiswa mengambil unsur mangan dicampur zat kimia antara lain seng (Zn), kemudian dikalsinasi/dibakar dalam suhu tinggi untuk menguapkan gas dan menghilangkan minyak. Kemudian dilakukan proses sintering (homogenisasi), dilanjutkan proses pengeringan.
Bahan baterai berbentuk serbuk basah kemudian dimasukkan ke dalam selongsong baterai bekas yang sudah dibersihkan. Setelah serbuk dimasukkan, bagian atas selongsong ditutup dengan cara dipres. Agar baterai tidak bocor, ujungnya ditutup rapat dengan karet.
Setelah baterai jadi, Aji dan kawan-kawan mencetak label produk dengan nama ”Lusi Pro” termasuk tempat atau wadah dari baterai. Para mahasiswa berniat, jika baterai ini diproduksi massal dan dijual, sebagian hasilnya untuk korban lumpur Lapindo.
Untuk mendapatkan kekuatan dan daya tahan sesuai standar, Aji dan kawan-kawan melakukan uji coba berkali-kali dengan menggunakan scanning electron microscopy dan X-ray disfraction. ”Kami mengukur dengan voltmeter (pengukur tegangan listrik) untuk mendapatkan tegangan listrik sesuai standar untuk baterai sekitar 1,5 volt,” kata Aji.
Setelah jadi, baterai dipasang di senter isi dua baterai. ”Kalau dinyalakan nonstop bisa sampai lima jam. Artinya, baterai kami lebih lama sekitar 10 persen dari umumnya baterai yang dijual di pasaran. Rata-rata kemampuan baterai lain hanya 4,5 jam, bahkan ada yang hanya 3,5 jam,” Aji memaparkan.
Karena dikerjakan manual, proses pembuatan baterai Lusi cukup lama. Untuk menghasilkan 10 baterai yang siap pakai perlu waktu sekitar tiga jam. ”Kalau pakai mesin akan jauh lebih cepat,” kata Umarudin.
Rektor Universitas Negeri Semarang Prof Sudijono Sastroatmodjo memerintahkan agar karya para mahasiswa tersebut didaftarkan hak patennya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
”Ini karya luar biasa, apalagi dihasilkan oleh mahasiswa dari universitas eks IKIP,” kata Sudijono dengan bangga.