Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kecenderungan Memburuk karena Dibiarkan

Kompas.com - 03/08/2012, 03:35 WIB

Isu intoleransi, baik antaragama maupun antarmazhab dalam agama di Indonesia, telah terpapar melalui laporan lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional, dan terkuak dalam forum-forum internasional.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pengaduan tiga perempuan dari komunitas Ahmadiyah, Cikeusik, yang menghadapi berbagai ancaman, mulai penggusuran, larangan melakukan kegiatan keagamaan, sampai pemaksaan pemutusan hubungan kerja oleh pihak luar terhadap suami. Komunitas itu mengalami penyerangan pada Februari 2011.

Lima perempuan guru di daerah Bogor dipaksa mengundurkan diri atas desakan para tokoh masyarakat, dan polisi tidak bisa menjamin keamanan guru tersebut. Intimidasi terus berlangsung meski mereka pindah mengajar.

Seorang perempuan di Lombok bersama beberapa temannya tak bisa melanjutkan kuliah karena orangtua mereka terpaksa meninggalkan rumahnya. Keluarga itu kehilangan semua propertinya setelah penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah tahun 2005. Anak-anak juga mengalami pelecehan oleh guru dan teman sekolah.

”Kekerasan terhadap kelompok minoritas agama selalu diikuti penutupan akses publik dan akses ekonomi,” ujar Masruchah, Komisioner Komnas Perempuan.

Terpapar luas

Komnas Perempuan juga mencatat intimidasi terhadap perempuan jemaat gereja setelah penutupan paksa Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor (September, 2011) dan gereja HKBP Ciketing, Bekasi (Agustus, 2010).

Kasus-kasus itu tercakup dalam Laporan Independen Komnas Perempuan pada sesi ke-13 sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di Geneva, Swiss, Mei 2012. Dalam sidang itu, Indonesia dievaluasi oleh 74 negara.

Menurut Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah yang mengikuti sidang tersebut, ”Isu intoleransi agama menjadi perhatian serius dari hampir 40 persen anggota. Indonesia didorong untuk serius menangani persoalan ini.”

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat kasus kekerasan, mulai dari perusakan dan pembakaran properti, sampai pengusiran terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura. Juga perusakan dan penutupan gereja secara paksa di sejumlah daerah.

Menurut Ismail Hasani dari Setara Institute, kondisi kebebasan beragama di Indonesia terus memburuk dan membutuhkan perhatian serius. Namun, bentuknya bukan Undang-Undang Kerukunan Beragama, yang justru berpotensi mengandung politik represi atas nama kerukunan.

”Kerukunan bukan kegiatan, melainkan dampak. Negara harus melakukan tindakan kalau jaminan terhadap kebebasan beragama terancam, karena kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi,” ujar Ismail.

Pembiaran

Laporan Setara Institute lima tahun terakhir memperlihatkan data-data kuantitatif dan kualitatif yang meningkat. Data itu juga memperlihatkan, negara melalui aparaturnya tidak hanya membiarkan, tetapi justru mendorong terjadinya kekerasan.

”Tak ada kehendak politik untuk menyelesaikan persoalan secara damai,” ujar Ismail.

Sesuai laporan Setara Institute tengah tahun (Januari-Juni 2012), tercatat 129 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengandung 179 tindakan, menyebar pada 22 provinsi. Tingkat pelanggaran tertinggi terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

”Lima tahun terakhir, kondisi kebebasan beragama di Indonesia agak parah. Kalau tak ada ketegasan pemimpin, kondisinya akan makin parah,” ujar Ahmad Suaedy, peneliti senior Wahid Institute. ”Sementara Presiden malah membagi otoritas politiknya pada lembaga lain,” ujar Ismail.

Baik Ismail maupun Suaedy melihat kecenderungan lima tahun ke depan akan memburuk kalau kondisi ini dibiarkan. Apalagi, kerentanan masyarakat justru dikapitalisasi dalam politik daerah pada konteks otonomi daerah.

Ismail juga menyebut praktik politik diskriminasi yang terus diingkari. Komnas Perempuan mencatat peraturan daerah yang diskriminatif muncul sejak awal tahun 2000-an dan terus bertambah, dari 154 buah pada 2009 menjadi 207 buah pada pertengahan 2012.

Menurut Sueady, infrastruktur sosial masyarakat sebenarnya masih normal, dan kekerasan itu dilakukan oleh kelompok kecil, tetapi dibiarkan. ”Jadi makin berani, makin meluas. Pelanggaran terjadi karena pembiaran,” ujarnya.

Dalam Laporan Tahunan Indeks Negara Gagal yang diterbitkan The Fund for Peace, isu ini terdapat dalam indikator group grievance. Dalam laporan terakhir, Indonesia dinilai lemah dan lima tahun terakhir kecenderungannya memburuk. (MH/FIT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com