Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proyek Panas Bumi Terkendala

Kompas.com - 25/07/2012, 03:40 WIB

jakarta, Kompas - Realisasi sebagian besar proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi molor. Masalah yang sering muncul dalam pengembangan panas bumi adalah rumitnya perizinan, keterbatasan kemampuan teknis, dan kemampuan finansial pengembang.

Menurut Direktur Konstruksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Nasri Sebayang, Selasa (24/7) di Jakarta, harga listrik dari panas bumi saat ini tidak lagi menjadi kendala utama dalam pengembangan panas bumi, termasuk pembahasan perjanjian jual beli tenaga listrik.

PT PLN tidak lagi bernegosiasi harga dengan pengembang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) swasta. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2011, PT PLN ditugasi pemerintah untuk membeli listrik dari PLTP di dalam wilayah kerja panas bumi dari hasil lelang wilayah kerja panas bumi oleh pemerintah daerah dengan harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kilowatt hour (kWh).

Mayoritas paket proyek PLTP dalam wilayah kerja panas bumi memiliki harga jual listrik di bawah 9,7 sen dollar AS. ”Kami hanya bernegosiasi dengan sebagian kecil (pengembang) proyek PLTP yang kebanyakan berkapasitas kecil atau di bawah 10 megawatt (MW) dan lokasinya jauh dari jaringan listrik. Itu tak butuh negosiasi panjang,” kata Nasri.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Kardaya Warnika menyatakan, pengembangan panas bumi terkendala rendahnya harga jual listrik dari panas bumi serta alotnya negosiasi harga antara PT PLN dan pengembang.

Oleh karena itu, pemerintah akan menetapkan tarif listrik dari panas bumi 10-17 dollar AS per kWh tanpa proses negosiasi.

Menurut Nasri, masalah yang sering muncul dalam pembahasan perjanjian jual beli listrik dari panas bumi adalah ketidaksesuaian formula eskalasi harga antara standar perjanjian jual beli listrik dan proposal saat lelang, ketidaksesuaian kapasitas antara saat lelang dan rencana pengembangan sistem, serta penyiapan transmisi oleh PT PLN atau pengembang. Kendala lain adalah ketidakyakinan pengembang untuk memenuhi kapasitas kontrak.

Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN Mochamad Sofyan menambahkan, pengembangan panas bumi juga terkendala minimnya pendanaan eksplorasi dan rumitnya regulasi perizinan karena beberapa lokasinya di hutan lindung dan hutan konservasi. Lama eksplorasi bisa mencapai lima tahun. ”Jika di hulu terkendala, kami tidak bisa membangun konstruksi. Oleh karena itu, masalah perizinan serta kemampuan teknis dan finansial pengembang mesti segera tuntas untuk meningkatkan rasio keberhasilan pengembangan PLTP,” ujar Sofyan.

Tarif listrik

Terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga listrik dari panas bumi, Nasri mengingatkan, PLTP akan dioperasikan sebagai pemikul beban dasar sehingga akan beroperasi beriringan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Mayoritas proyek PLTP baru beroperasi empat-lima tahun ke depan. Padahal saat itu, porsi bahan bakar minyak (BBM) dalam pembangkit listrik PT PLN hanya 2 persen.

Oleh karena itu, menurut Sofyan, pemerintah semestinya membandingkan harga listrik panas bumi dengan PLTU batubara, bukan dengan pembangkit listrik berbasis BBM. Sebagai perbandingan, saat ini harga listrik dari pembangkit berbasis BBM sebesar 35-40 sen dollar AS per kWh, sedangkan harga listrik dari PLTU batubara 7-8 sen dollar AS per kWh dan harga listrik dari PLTP maksimal 9,7 sen dollar AS per kWh. (EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com