Perburuan Asal Alam Semesta

Kompas.com - 09/07/2012, 16:13 WIB

KOMPAS.com - Partikel Tuhan? Membayangkan saja sulit, termasuk bagi komunitas fisika partikel. Akhir pekan lalu, temuan partikel itu—subatom partikel Higgs— menghebohkan dunia. Disebut ”partikel Tuhan” karena disebut-sebut sebagai kunci terbentuknya alam semesta. Benarkah?

Leon M Lederman, peraih Nobel Fisika 1988, penemu neutrino muon dan bottom quark, bersama grup eksperimennya adalah pencetus sebutan ”partikel Tuhan” untuk partikel Higgs pada buku The God Particle: If the Universe is the Answer, What is the Question? terbitan tahun 1994. Penamaan ini mengundang kontroversi, ditambah kesalahpahaman publik.

Kehebohan bertambah menyusul eksperimen Large Hadron Collider (LHC) di Geneva, Swiss. LHC melakukan eksperimen fisika energi tinggi terbesar dan termahal di muka bumi. LHC di bawah naungan Organisasi Riset Nuklir Eropa (CERN) berdiri tahun 1954, merupakan konsorsium negara-negara Eropa.

Meski ada kata nuklir, CERN sama sekali tak terkait pengembangan teknologi nuklir, apalagi senjata nuklir.

LHC melingkar sepanjang 27 kilometer di terowongan berdiameter 4 meter pada kedalaman puluhan meter di bawah tanah. Di sana, proton dan antiproton dipercepat, lalu ditumbukkan dari arah berlawanan dengan energi super-tinggi, masing-masing mencapai 7-8 trillion electronvolt (TeV) atau total 14-16 TeV.

Untuk eksperimen itu dibutuhkan medan magnet dengan kuat medan superbesar. Tak mengherankan jika LHC butuh daya listrik dari dua pembangkit berbeda untuk menjamin eksperimen berlangsung sesuai jadwal (bisa berbulan-bulan) tanpa jeda. Anggaran tahunan CERN sekitar Rp 10 triliun. Penyokongnya tak hanya negara adidaya bidang sains, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China, tetapi juga merangkul negara ”kecil”, seperti Israel, Iran, Tunisia, bahkan Thailand dan Vietnam.

Model standar

Pada konteks tuntutan serba super ini, partikel terakhir yang diprediksi dalam Model Standar Fisika Partikel (MSFP) dan disebut ”partikel Tuhan” dikejar. Partikel Higgs adalah partikel terakhir yang belum ditemukan dalam kerangka teori MSFP.

Model standar mengacu pada bangunan teori yang disusun puluhan tahun oleh para fisikawan. Hal itu menjelaskan bagaimana alam semesta terbentuk dari bahan-bahan dasarnya.

Sebelumnya, partikel terakhir yang ditemukan adalah top quark (1998) oleh kolaborasi CDF di Tevatron, Fermilab, AS. Beda dengan quark yang adalah fermion, partikel Higgs dikategorikan sebagai boson.

Boson Higgs dipercaya berperan penting memberi massa partikel-partikel lain semiliar detik pertama seusai Dentuman Besar (Big Bang). Dan, terbentuklah benda-benda langit, termasuk galaksi yang dikenal saat ini.

Pada MSFP ada 17 partikel elementer pembentuk materi terkecil, yaitu 12 fermion yang terdiri dari masing-masing 6 jenis quark dan lepton (salah satunya adalah elektron) serta 4 jenis boson pembawa interaksi. Salah satu boson adalah foton, yang di alam dikenal sebagai berkas cahaya. Sisanya adalah boson Z dan W sebagai mediator interaksi lemah serta gluon sebagai mediator interaksi kuat.

Namun, MSFP belum mampu mengakomodasi interaksi gravitasi. Kekurangan ini memicu para peneliti teori fisika partikel mengembangkan aneka teori baru untuk menyatukan keempat interaksi di alam semesta, tetapi tetap mengandung MSFP di dalamnya. Salah satu teori yang banyak dikaji karena ”keindahan matematis”-nya adalah supersimetri. Ada juga teori penyatuan agung (grand unified theory/GUT) lain, seperti SU(5) dan SU(6) GUT yang dikembangkan grup penulis sejak 2005.

Di luar masalah penyatuan interaksi, MSFP tak mampu menjelaskan mengapa 12 partikel fermion punya massa dengan besaran bervariasi. Salah satu hipotesis yang dikembangkan Peter Higgs, Francois Englert, dan Robert Brout (1964) adalah mekanisme Higgs. Mekanisme ini memerlukan partikel hipotetik yang lalu disebut partikel Higgs.

Pada komunitas ilmiah sekalipun sering terjadi popularitas mengalahkan realitas sejarah sehingga saat ini hanya nama Higgs yang dipakai, tidak dinamai ”partikel Higgs-Englert-Brout”. Pada mekanisme Higgs, massa merupakan konsekuensi perusakan simetri di alam semesta yang dipicu keberadaan partikel Higgs. Hal ini lalu berperan menimbulkan fenomena ketidakseimbangan materi dan antimateri.

Sebenarnya mekanisme Higgs saat itu bukan hal baru karena ide itu telah dikemukan Yuichiro Nambu pada awal tahun 1960-an. Nambu dianugerahi Nobel Fisika tahun 2008 untuk penelitiannya terkait perusakan simetri.

Sulit ditemukan

Partikel Higgs masuk kategori boson, bukan pembawa interaksi tertentu seperti foton. Karakteristik ini yang menyebabkan Higgs sulit ditemukan di antara miliaran hamburan hasil tumbukan partikel yang dihasilkan pada eksperimen. Masalah yang lebih pelik adalah terlalu banyak skenario yang mungkin bagi mekanisme Higgs itu sendiri.

Yang banyak dikenal selama ini hanyalah skenario minimal dari MSFP dengan hanya satu jenis partikel Higgs.

Diberitakan, 4 Juli 2012, kolaborasi CMS dan ATLAS melaporkan hasil sementara dari data tahun 2011. Data tahun ini masih dianalisis. Mereka mengklaim menemukan sinyal adanya partikel boson baru pada rentang massa 125-126 GeV dengan akurasi memadai (5 sigma).

Perlu ditekankan, sinyal ini belum diklaim sebagai penemuan partikel Higgs! Untuk menentukan sinyal itu sebagai produksi partikel Higgs dibutuhkan statistik yang jauh lebih baik. Data saat ini belum cukup.

Hasil sementara itu belum menjelaskan, apalagi menentukan, jenis partikel Higgs, apakah sesuai MSFP minimal atau skenario lain. Jika dilihat dari rentang massa yang dilaporkan, jelas massa yang diamati jauh lebih tinggi dari prediksi MSFP.

Secara umum dan norma dalam kaidah riset fisika energi tinggi, pengakuan atas penemuan partikel baru harus didasarkan pada dua eksperimen independen. Contohnya, kolaborasi CDF dan D0 pada cincin (ring) akselerator Tevatron yang mencari partikel top quark. Saat itu, kolaborasi D0 mengumumkan lebih dulu temuannya. Belakangan, kolaborasi CDF mengumumkan hasil dengan besar massa jauh berbeda. Belakangan diakui bahwa D0 salah analisis.

Prosedur semacam ini menjelaskan mengapa pada cincin akselerator LHC dibuat dua kolaborasi, CMS dan ATLAS (seperti D0 dan CDF di Tevatron), dengan tujuan sama untuk mencari partikel Higgs. Pertanyaannya, mengapa keduanya memaparkan bersamaan? Kecurigaan semacam ini lama dikenal di kalangan komunitas fisika partikel.

Karena eksperimen fisika energi tinggi selalu butuh dana (publik) super, eksperimentalis mengalami tekanan psikologis luar biasa demi menghasilkan ”sesuatu”. Khususnya LHC, yang kemungkinan besar akan menjadi fasilitas super terakhir dengan teknologi akselerator karena besarnya biaya.

Tidak akan ada lagi pendanaan untuk fasilitas sekelas LHC, kecuali ditemukan teknologi pemercepat partikel baru yang lebih murah. Apa yang terjadi jika LHC mengumumkan tak menemukan partikel Higgs? Padahal, eksperimen diharapkan menentukan ”nasib” dari aneka jenis teori yang telah diusulkan.

Dampak hasil sementara

Secara umum, komunitas fisika partikel teori terbelah dua menanggapi eksperimen di LHC, khususnya yang terkait dengan pencarian partikel Higgs. Golongan pertama berharap partikel Higgs ditemukan. Umumnya komunitas yang aktif mengkaji supersimetri.

Golongan kedua adalah komunitas yang berharap partikel Higgs tak ditemukan. Sebab, akan terbuka lebar peluang untuk mengkaji aneka alternatif lain, seperti dimensi ekstra SU(6) GUT yang diusung penulis dan lain-lain. Namun, secara umum, kedua golongan komunitas fisikawan partikel berharap mendapat informasi baru sebagai landasan mengembangkan lebih jauh teori yang ada.

Yang pasti, hasil sementara LHC kali ini hanya titik awal perjalanan panjang pencarian partikel baru bermassa besar dalam 10-20 tahun mendatang. Salah satunya bisa jadi partikel Higgs atau mungkin partikel yang sama sekali baru.

LT HANDOKO Peneliti pada Grup Fisika Teoritik dan Komputasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    Video Pilihan Video Lainnya >

    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau