JAKARTA, KOMPAS.com — Munculnya bencana geologis seperti gempa, tsunami, dan gunung meletus memang tak bisa diperkirakan dengan pasti. Namun, ilmuwan terus berupaya agar bencana tersebut bisa diprediksi seakurat mungkin guna mencegah jatuhnya korban.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia yang berkarya di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang, mengembangkan dua mikrosatelit bernama GAIA-I dan GAIA-II.
"Kedua mikrosatelit ini saya rancang untuk monitoring pergerakan kerak bumi di bawah program Center of Excellent Chiba University," ungkap Josaphat dalam e-mail beberapa waktu lalu.
GAIA-I akan mendukung pengamatan dengan cakupan luas, dengan resolusi ratusan bahkan ribuan kilometer. Sementara itu, GAIA-II akan mendukung pengamatan dengan cakupan terbatas, dengan resolusi 30-50 meter.
Informasi TEC untuk prediksi gempa
GAIA-I dilengkapi beberapa perangkat, salah satunya GPS-RO. Perangkat ini berguna mengetahui total electron contents (TEC) di sepanjang posisi gelombang mikro dari satelit navigasi lain, seperti GPS dan Glonnas.
"Informasi TEC ini akan digunakan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi berkekuatan lebih dari M5 selama 3 atau 4 hari sebelum terjadinya gempa," papar Josaphat yang juga baru saja sukses mengembangkan pesawat tanpa awak terbesar di Asia.
Josaphat mengatakan, dalam 3-4 hari sebelum gempa besar, terjadi pergeseran kerak bumi yang memancarkan gelombang ULF dan radiasi radon. Pancaran tersebut memengaruhi aktivitas elektron di ionosfer, baik berupa pelepasan elektron maupun kenaikan suhu ionosfer.
Pada gilirannya, aktivitas elektron akan memengaruhi gelombang mikro yang dipancarkan satelit navigasi, seperti GPS, Galileo, dan Quasi Zenith Satellite. Gelombang inilah yang akan ditangkap oleh GAIA-I.
"GAIA-I akan mengestimasi letak satelit pengirim sehingga informasi refraksi hantaran gelombang dapat diturunkan. Informasi refraksi gelombang dapat dihubungkan langsung dengan aktivitas kerak bumi sehingga kita bisa prediksikan gempa," urai Josaphat.
Setelah GAIA-I memprediksi gempa dalam skala luas, GAIA-II akan membantu mengetahui lebih spesifik di mana gempa akan terjadi. Dengan demikian, upaya mengungsikan warga demi meminimalkan jatuhnya korban bisa dilakukan.
Untuk mendukung prediksi gempa dengan lebih akurat, Josaphat pun mengembangkan teknik pengolahan data sensor Differential SAR Interferometry (DInSAR). Teknik ini memiliki akurasi dalam skala milimeter hingga sentimeter.
Jawaban masalah prediksi gempa bumi
Saat ini, pengamatan aktivitas tektonik hanya mengandalkan perangkat GPS. Akibatnya, fenomena-fenomena inonosfer hanya dapat diamati di wilayah tepat di atas kontinental. Prediksi gempa pun hanya meliputi gempa daratan.
"GAIA-I mengelilingi bumi dan dapat menangkap gelombang ULF dan radiasi radon yang dipancarkan di lautan lepas. Dengan demikian, pengamatan pergerakan lapisan kerak bumi di laut lepas pun dapat dilakukan," papar Josaphat.
GAIA-I juga bisa berfungsi sebagai altimeter untuk mengukur ketinggian permukaan laut dan kecepatan gerak gelombang laut. Dengan demikian, GAIA-I juga bisa mengamati kejadian tsunami.
Josaphat menuturkan, "GAIA-I merupakan jawaban atas permasalahan selama ini untuk memprediksi gempa bumi dan aktivitas tektonik lapisan bumi." Baik gempa daratan maupun lautan, termasuk tsunami, bisa diprediksikan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.