YOGYAKARTA,KOMPAS -
Sultan menyampaikan harapan itu saat bertemu Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Retno Lestari Priansari Marsudi, Senin (14/5), di Kepatihan, Yogyakarta. ”Kalau bisa, pada aspek perjanjian kebudayaan, apakah boleh Daerah Istimewa Yogyakarta meminta naskah-naskah kuno di Belanda. Paling tidak, diberikan dalam bentuk mikrocip jika sewaktu-waktu keraton ingin meneliti,” kata Sultan.
Perjanjian pengembalian manuskrip kuno pernah dilakukan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri di London, Inggris. Hingga kini, sebagian besar naskah kuno Keraton Yogyakarta belum juga dikembalikan.
Menurut Retno, Kedutaan Besar RI di Den Haag akan berusaha memfasilitasi permintaan itu. ”Kami menunggu pemerintah provinsi mendata manuskrip apa saja yang diinginkan,” katanya.
Perampasan naskah kuno terbanyak terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tahun 1812 saat Gubernur Thomas Stamford Raffles menyerang keraton. ”Waktu itu, setiap hari sekitar lima gerobak naskah kuno diambil selama satu minggu berturut-turut dan dibawa ke London. Naskah itu berisi tentang tari-tarian ataupun karya-karya pujangga keraton,” kata Sultan.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Djoko Suryo, mengatakan, perampasan besar-besaran naskah kuno Keraton Yogyakarta terjadi peristiwa
Lebih dari 7.000 judul naskah kuno Keraton Yogyakarta dibawa ke Inggris sehingga manuskrip kuno pada masa HB I dan HB II nyaris hilang. Saat ini, di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta tersisa 363 naskah (
”Selain penjarahan naskah kuno, ketika itu banyak kekayaan keraton lain yang juga turut dirampas,” kata Djoko.
Ia mengingatkan, perawatan naskah kuno mahal. Soal merawat, itu masih menjadi masalah di Indonesia.
Bila Pemerintah Provinsi DIY meminta kembali naskah-naskah kuno itu, kemungkinan besar Pemerintah Inggris dan Belanda hanya akan memberi dalam bentuk mikrofilm. ”Perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani arsip naskah-naskah kuno itu,” kata Djoko.