Oleh Siwi Yunita & Budi Suwarna
Mari bersulang. Tidak perlu dengan ”wine” atau sampanye, cukuplah temulawak beruap, bir pletok, dan bandrek Abah saja. ”Toast”....
Di kedai Bu Ijah, di Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (27/4/2012) siang, Rafi (23) dan tujuh temannya berpesta setelah lulus tes kerja. Mereka mengangkat botol-botol minuman dan mengocoknya perlahan. Ketika tutup botol dibuka, uap dan busa menyeruak menjanjikan kesegaran. Tidak lama kemudian mereka bersulang, Toast!
Minuman di pesta itu bukan sampanye atau wine, melainkan sari temulawak beruap. Begitulah, minuman tradisional itu menjadi suguhan ”wajib” masyarakat Banyuwangi, utamanya di momen istimewa. ”Ini sampanye ala Jawa,” ujar Rafi sambil menenggaknya. Srupss... sari temulawak beruap mengalir di tenggorokannya.
Sejak tahun 1980-an, temulawak beruap sangat populer di Banyuwangi. Minuman ini bahkan sempat menjadi simbol gengsi orang kaya. ”Yang tidak kaya pun sebisa mungkin menjamu tamunya dengan temulawak beruap,” ujar Syaiful (45), warga Bayuwangi.
Buat sebagian warga kota di Jawa Timur itu, sensasi meneguk temulawak beruap barangkali sama dengan sensasi mencecap sampanye. Setidaknya, kedua minuman itu sama-sama menyeruakkan uap ketika tutup botolnya dibuka.
Kini, temulawak beruap bisa kita temukan di mana-mana di hampir semua kedai, kafe, hingga hotel di Banyuwangi. Dari kota ini, kesegaran temulawak beruap lantas merembes ke kota-kota lainnya, mulai Situbondo, Bondowoso, hingga Pulau Dewata.
”Di Bali, temulawak beruap juga dijual di kafe dan bar. Biasanya minuman ini dicampur minuman lain atau sekadar jeruk nipis dan madu. Turis asing ternyata juga suka,” ujar Rony Hendra Setiadi, pemilik Pabrik Lemonade dan Cola (PL) Hawaii yang memproduksi sari temulawak beruap.
Era boleh berganti, tetapi minuman tradisional di beberapa daerah tetap dicari. Di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Bandrek Abah sejak 1970-an hingga kini menjadi ikon. Minuman hangat dan pedas itu memang cocok ditenggak untuk mengusir hawa dingin lembah Ciwidey. Dari kawasan ini, kehangatan jahe dan rempah Bandrek Abah menjalar ke kafe, restoran, dan hotel bintang lima di Bandung dan Jakarta.
Di tanah Betawi, bir pletok mulai populer lagi. Minuman tradisional berbahan secang yang diproduksi di perkampungan padat di Jalan II Kebagusan, Jakarta Selatan, dan Kedoya Selatan, Jakarta Barat, itu juga bisa melenggang ke kafe dan hotel.
Pencanggihan
Bagaimana perjalanan ketiga minuman tradisional itu dari desa ke kota?
Temulawak beruap mulai diproduksi tahun 1960 oleh Liem Jun Keon. Pengusaha bir itu beralih membuat sari temulawak yang ketika itu sudah digemari di Bayuwangi dan beberapa kota di Jawa. Namun, Liem ingin temulawak buatannya tampak lebih mewah dan beda dengan temulawak yang dijajakan tukang jamu di pasar.
Dia pun mencampurkan soda ke dalam sari temulawak. Dengan begitu, minuman itu tampak seperti cola. Belakangan, minuman tersebut dikenal dengan sebutan temulawak beruap.
Usaha Liem berkembang pesat hingga beralih ke anaknya, Boedijanto, tahun 1970-an. Di tangan Boedijanto, temulawak beruap kian terkenal dan pemasarannya meluas ke luar Banyuwangi. Selanjutnya, usaha itu turun ke Rony Hendra Setiadi tahun 2003.
Saat ini, ada dua pabrik temulawak beruap yang masih bertahan, yakni PL Hawaii yang dijalankan Rony dan Hawa Inti (Hawai) yang dijalankan Setiabudi, paman Rony. Di musim panas, PL Hawaii bisa memproduksi 3.000 krat temulawak beruap, sedangkan pada musim hujan 1.500 krat. Satu krat berisi 1.500 botol yang di tingkat eceran dijual Rp 2.500-Rp 3.000 per 320 mililiter.
Seperti temulawak beruap, Bandrek Abah pun telah melintas tiga generasi. Awalnya, Bandrek Abah dibuat dan dijajakan secara berkeliling di tempat pemandian Cimanggu oleh Abah Andi tahun 1970-an. Usaha itu lantas beralih ke anaknya, Abah Sobana, tahun 1982. Di tangan Sobana, bandrek itu mengalami pencanggihan. Bandrek dikemas dalam botol dan diberi merek. Bahkan, mulai tahun 2007, Sobana membuat bandrek Abah dalam kemasan plastik kecil.
Selain Sobana, kakaknya, Abah Dindin, juga memproduksi bandrek dengan merek yang sama. Bedanya, label Bandrek Abah produksi Sobana bewarna kuning, sedangkan produksi Dindin warna putih.
Zainudin, pengelola bandrek Abah Sobana, mengatakan, setiap bulan pihaknya memproduksi 7.000 botol besar sirup bandrek, 1.000 botol kecil sirup bandrek, dan 45.000 bungkus bandrek bubuk kemasan plastik. Bandrek kemasan botol besar dijual Rp 25.000, botol kecil Rp 10.000, dan kemasan plastik Rp 800. Itu harga di pabrik. Kalau di tangan pedagang sebotol besar Bandrek Abah dibanderol Rp 35.000-Rp 60.000.
”Sebenarnya permintaan dari Sumatera dan Kalimantan juga ada, tetapi kami belum bisa memenuhinya karena kurang modal,” ujar Zainudin.
Olahan tradisional
Bir pletok juga diproduksi secara rumahan di perkampungan padat. Produsennya antara lain Rosiah di Kebagusan dan Rismi Madjah di Kedoya Selatan. Agar pembeli yakin benar bir pletok ini tidak mengandung alkohol, produk mereka diberi label halal dari MUI. Sebotol bir pletok dijual sekitar Rp 15.000.
Rosiah setia membuat bir pletok sejak remaja. Dulu, ia biasa memetik secang sebagai bahan baku utama bir pletok dari pagar tanaman warga. Namun, kini, kawasan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta, sudah disesaki bangunan rumah sehingga Rosiah memilih membeli bahan baku bir pletok dari pasar.
Produksi bir pletok biasa dilakukan setiap dua hari sekali. Proses pemasakan bir pletok butuh waktu satu jam. Selain secang, Rosiah merebus bahan baku lain berupa jahe, daun jeruk, serai, pandan, lada hitam, cabe jawa, kapulaga, kayu manis, cengkeh, dan pala. Setelah ramuan itu mendidih, baru ditambahkan gula. Rosiah tak membubuhi bahan pengawet sehingga daya tahan maksimal hanya sebulan jika disimpan di lemari es.
Temulawak Hawaii beruap hingga kini juga tetap dibuat secara tradisional. Bahkan, Rony tidak mengubah kemasan minuman itu, yakni botol pendek warna hijau dengan label kertas bergambar rumpun temulawak enam jari. Pasalnya, botol pendek itu telanjur identik dengan temulawak bersoda. Di bawahnya ditulis kalimat: sari temulawak hawaii beruap.
”Orang Bali bilang temulawak kemasan botol pendek rasanya lebih enak dari kemasan botol leher panjang. Padahal, sih, isinya sama,” ujar Rony sambil tertawa.
Mari kita bersulang untuk membuktikannya. Dan... toast! (Mawar Kusuma)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.