Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Celoteh Pelestarian Hutan

Kompas.com - 09/04/2012, 03:55 WIB

Oleh Marison Guciano

Penghancuran hutan Indonesia masih terus berlangsung. Pada 2 Maret, Greenpeace dan Walhi menyampaikan hasil investigasi dugaan perusakan hutan di Riau— termasuk menebang ramin—oleh perusahaan kertas ke Mabes Polri.

Penebangan ramin dilarang sejak 2001 dan secara internasional spesies ramin dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Laporan itu juga menyebutkan, sejak 2001 paling tidak 180.000 hektar hutan lahan gambut di Sumatera hancur dikonsesi-konsesi perusahaan.

Laporan disampaikan kepada polisi ketika Presiden SBY belum genap tiga pekan menegaskan komitmennya melestarikan lingkungan di hadapan para diplomat asing (Kompas, 16/2). Komitmen yang berulang kali diucapkan untuk menyelamatkan hutan Indonesia itu dinilai tak lebih dari sekadar pernyataan belaka.

Belajar dari sejarah

Sepanjang sejarah Indonesia, negara sering tak berdaya menghentikan perusakan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Dengan kekuatan uang, perusahaan membuktikan dirinya jauh lebih kuat—bahkan daripada negara sekalipun—untuk memegang kendali atas sumber daya hutan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Akibat konflik sumber daya hutan dengan perusahaan, tak jarang masyarakat terusir dari tanahnya tanpa perlindungan negara dan kompensasi apa pun. Kasus Mesuji adalah salah satu contohnya. Padahal, jika kita mau belajar dari sejarah, kekayaan hutan yang dikuras perusahaan tak pernah sebanding dengan kontribusi mereka bagi perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.

Dekade 1980-an adalah masa sumber daya hutan Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Sepanjang 1980-1999 tercatat ada 115 industri kayu nasional. San Afri Awang—dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM tahun 2008—menyebutkan, setelah dikelompokkan, pemegang izin HPH itu hanya dimiliki sekitar 20 konglomerat kehutanan.

Ironisnya, sepanjang tahun 1980-1999 itu pula pemanfaatan hasil hutan tidak berkontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya. Cifor (2004) mengungkapkan, pengelakan pajak hutan diperkirakan merugikan negara 1,5 miliar dollar AS per tahun.

Kini, yang ditinggalkan para konglomerat kehutanan hanyalah kerusakan. Kerusakan hutan tercepat di Indonesia terjadi dalam kurun 1980-1999, saat para konglomerat kehutanan dengan serakah mengeksploitasi hutan alam Indonesia hingga 2,83 juta hektar per tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com