Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daerah yang Dibelit Politik Uang dan Dinasti

Kompas.com - 29/02/2012, 02:48 WIB

Jean Rizal Layuck/M Hernowo

Kota Tomohon, yang berada di bawah kaki Gunung Lokon, dikenal sebagai daerah yang memiliki udara sejuk di Sulawesi Utara. Berada sekitar 30 kilometer di sebelah selatan Kota Manado, Tomohon dikenal juga sebagai kota bunga. Sekitar 70 persen dari 105.000 penduduknya adalah petani bunga.

Namun, tidak hanya bunga dan Gunung Lokon yang belakangan sering meletus yang membuat Kota Tomohon dikenal. Tomohon sempat mengagetkan politik nasional saat Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang melantik Jefferson Rumajar sebagai wali kota daerah itu pada 7 Januari 2011 di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.

Jefferson, yang diusung Partai Golkar, harus dilantik di Jakarta karena saat itu sedang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia menjadi terdakwa perkara korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tomohon periode 2006-2008 yang merugikan negara sekitar Rp 33,4 miliar. Bahkan, saat memenangi pemilu kepala daerah (pilkada) pada 3 Agustus 2010, dia sudah berstatus tersangka. KPK menetapkan Jefferson sebagai tersangka pada 14 Juli 2010.

”Jefferson itu petahana (incumbent). Dalam pilkada di Indonesia, petahana umumnya lebih berpeluang menang karena dikenal oleh rakyat. Petahana juga lebih mudah memobilisasi dukungan, baik melalui birokrasi maupun keuangan daerah,” kata Novie N Kolinug, seorang pengacara dari Sulut tentang kemenangan Jefferson.

Wajah ganteng dan gaya bicaranya yang memikat semakin mendorong sebagian rakyat Tomohon untuk memilih kembali Jefferson. ”Apalagi jika uang berbicara. Pertimbangan calon itu korupsi atau tidak menjadi pertimbangan berikutnya,” tambah Novie.

Politik uang menjadi fenomena baru dalam pilkada di Sulut. Menjelang pilkada tingkat provinsi dan enam kabupaten/kota di Sulut pada awal 2010, sejumlah calon diketahui mulai menggelontorkan uang. Mereka antara lain Vonnie Anneke Panambunan yang dari atas mobil terbuka bersama tim suksesnya membagi-bagikan uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 20.000 kepada banyak orang.

Meskipun demikian, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut, Abdul Rivai Poli, menuturkan, KPU Sulut belum pernah menerima laporan adanya keputusan hukum terkait politik uang dalam pilkada di daerahnya. Hal ini karena lihainya tim sukses para calon kepala daerah dalam mempraktikkan politik uang, dan rakyat yang menerimanya juga cenderung tidak mau melapor.

Pembagian uang itu jika dilakukan terbuka biasanya juga terjadi sebelum adanya penetapan calon resmi oleh KPU. Akibatnya, KPU dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) tidak dapat menindaknya. Misalnya, Vonnie yang membagikan uang sebelum penetapan calon. Dalam verifikasi, KPU akhirnya tidak meloloskan Vonnie sebagai calon resmi.

Dalam pemilu legislatif tahun 2009, kenang Abdul Rivai, pernah diusut adanya praktik politik uang. Namun, dalam persidangan, tersangka tiba-tiba menghilang hingga selesainya penghitungan suara secara nasional. Akibatnya, kasus itu menjadi kedaluwarsa karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, perkara menjadi kedaluwarsa setelah tiga hari sesudah KPU mengesahkan suara secara nasional.

Kekuatan klan

Yong Ohoitimur, tokoh agama di Sulut, menambahkan, uang telah menjadi variabel penting dalam pemilu di Sulut. Namun, mereka yang membagikan uang belum tentu memenangi pilkada. Pasalnya, ada variabel lain yang juga berpengaruh, yaitu ikatan keluarga atau klan yang umumnya juga kuat.

Kuatnya ikatan keluarga, menurut Yong, tecermin dalam kesenian tradisional di Sulut yang tidak mengenal adanya penyanyi solo atau sendiri. Orang bisanya menyanyi atau memainkan alat musik secara bersama-sama, tanpa ada salah satu pihak yang menonjol.

”Kuatnya klan di Sulut membuat orang mudah membuat pilihan berdasarkan relasi karena keluarga atau marga. Orang juga mudah menghubungkan diri dengan orang berpangkat dan terkenal dengan mengatakan, itu saudara saya,” papar Yong.

Kuatnya ikatan keluarga juga membuat seseorang yang telah meraih kedudukan atau posisi tertentu akan berusaha membantu anggota keluarganya untuk meraih kedudukan serupa. Ini mendorong munculnya politik dinasti.

Awalnya, jelas Yong, dinasti dibentuk oleh adanya tokoh di klan itu yang memiliki keunggulan di bidang pendidikan atau karakter terhormat. Fenomena itu misalnya terlihat dalam klan Sondakh. Lucky Sondakh adalah mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi dan tokoh agama di Sulut. Lucky adalah ayah Angelina PP Sondakh, anggota DPR dari Partai Demokrat yang kini menjadi tersangka kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang.

Adapun kakak Lucky Sondakh, yaitu AJ Sondakh, adalah mantan Gubernur Sulut yang bahkan sering disebut sebagai guru politik di daerah itu. Dua anak AJ Sondakh, yaitu Denny Sondakh dan Inggrid Sondakh, kini dikenal sebagai politisi muda Sulut. Denny kini menjadi Ketua DPRD Kota Manado. Inggrid menjabat Ketua Partai Golkar Kabupaten Minahasa Utara.

”Awal terbentuknya klan Sarundajang juga dimulai oleh dikenalnya Sarundajang sebagai tokoh yang berpendidikan. Ini karena pendidikan mempunyai status penting bagi masyarakat,” tambah Yong.

Ferry Daud Liando, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, menuturkan, kualitas dari tokoh utama klan politik sering kali memang tidak diikuti oleh generasi sesudahnya atau saudaranya dalam satu klan. Meskipun demikian, klan dapat terus berkembang, bahkan menjadi dinasti politik. Pasalnya, rakyat umumnya masih cenderung melihat siapa yang memerintah, bukan bagaimana kualitas pemerintahannya.

”Dinasti politik juga menjadi semakin kuat dan menyebar karena hadir bersama dengan praktik politik uang. Ada saling menguatkan antara dinasti politik dan politik uang,” tutur Ferry Daud lagi.

Meskipun demikian, Ferry meyakini, rasionalitas masyarakat terhadap demokrasi akan semakin tumbuh. ”Setelah satu dasawarsa otonomi daerah telah mulai tumbuh kesadaran bahwa uang dan klan perlu disikapi secara kritis. Pejabat yang korup harus dilawan,” kata Ferry.

Masalahnya, seberapa cepat kesadaran tersebut berkembang dan mampu bertahan menghadapi berbagai kemungkinan arus balik yang melawan demokratisasi? Kondisi belum berubah....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com