Jakarta, Kompas -
”Kalau karst hancur, banyak manfaat yang akan hilang,” kata Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Nuramaliati Prijono, Kamis (16/2), di Jakarta.
LIPI kini mempersiapkan penerbitan buku flora dan fauna karst, khususnya dari karst Maros, Sulawesi Selatan. Menurut Nuramaliati, saat ini ada 20 spesies baru flora dan fauna karst yang belum diberi nama. Beberapa spesies yang berhabitat di karst itu antara lain kelelawar, tikus, serangga, kodok, dan tumbuhan berbunga.
”Kami berharap ada pihak-pihak tertentu yang tertarik memberi nama,” kata Nuramaliati. Perusahaan atau orang yang namanya diabadikan pada spesies- spesies baru itu diharapkan memberikan bantuan dana penelitian kepada LIPI.
Peneliti kelelawar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Ibnu Maryanto, menuturkan sedang meriset karst di Kebumen, Jawa Tengah, tepatnya di kawasan karst Jatijajar yang menjadi salah satu lokasi pariwisata goa kapur.
”Penambangan kapur oleh warga sudah sangat merusak, apalagi saat ini ada perusahaan semen mau masuk di situ,” kata Ibnu.
Spesies kelelawar yang berkoloni dan hidup di karst, selain berfungsi sebagai penyerbuk berbagai jenis tanaman, juga berfungsi sebagai predator alami hama pertanian. Kelelawar juga dikenal sebagai pengontrol biologi penyakit malaria serta artropoda penyebar penyakit ternak.
Menurut Nuramaliati, dari hasil riset fungsi kelelawar di Kebun Raya Bogor, diperoleh informasi bahwa spesies ini menyerbuki lebih dari 52 jenis tumbuhan. Bahkan, tidak kurang dari 186 jenis tumbuhan tropis seperti tumbuhan obat, dan kayu ataupun sumber makanan yang kehidupan dan penyebarannya bergantung pada jenis-jenis kelelawar kelompok Megachiroptera.
Kelelawar Megachiroptera pemakan buah tropis hutan menjadi agen utama pemencar biji. Kelelawar berfungsi sebagai predator alami hama pertanian, yang dapat dilihat manfaatnya pada hasil pertanian padi di sekitar karst yang hanya sedikit terganggu oleh hama.