Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jabiru yang Membanggakan

Kompas.com - 16/01/2012, 11:26 WIB

KOMPAS.com - Siswa Sekolah Menengah Kejuruan 29 Penerbangan Jakarta selama bertahun-tahun hanya ikut membantu merakit pesawat milik klub penerbangan di Bandara Pondok Cabe melalui program magang. Kini, siswa SMK 29 Penerbangan bisa merakit sendiri pesawat ringan eksperimental bernama Jabiru J430.

Meski hampir semua bahan didatangkan dari Australia, siswa dengan dibantu instruktur juga melakukan sejumlah rekayasa teknologi. Bagian sayap dan moncong, misalnya, dimodifikasi untuk mengatasi hambatan udara sehingga pesawat bisa melaju dengan kecepatan 130 knot atau sekitar 240 kilometer per jam. Pesawat berbobot 340 kilogram ini bisa terbang tujuh jam sejauh 1.600 kilometer atau setara Jakarta-Bali.

Begitu pula bahan bakar dimodifikasi agar tidak perlu menggunakan avtur, tetapi cukup menggunakan pertamax plus.

Namun, pesawat bermesin 3.300 cc yang terbuat dari komposit ini tidak langsung jadi sekaligus. Perakitan pesawat dilakukan secara bertahap.

Semula datang tantangan untuk merakit pesawat dari Kementerian Pendidikan Nasional ketika diadakan pameran Lomba Keterampilan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan tahun 2008 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada waktu itu pemerintah mempunyai program nasional perakitan pesawat.

Sebelum merakit Jabiru J430, SMK 29 Penerbangan pernah membangun pesawat dengan rangka pipa yang kini menjadi monumen di halaman depan sekolah. Pengalaman selanjutnya diperoleh melalui program magang membantu perakitan pesawat dua tempat duduk di Bandara Pondok Cabe. Pesawat dua tempat duduk yang dirakit tahun 2007 itu diberi nama Jabiru J230.

"Kini pesawat Jabiru J430 dengan empat tempat duduk ini murni dikerjakan siswa kami dengan pendampingan tenaga ahli dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), TNI AU, dan maskapai penerbangan," kata Kepala SMK 29 Penerbangan Dedi Dwitagama.

Perakitan pesawat dengan panjang 6,5 meter dan lebar rentang sayap 9,6 meter itu melibatkan 200 siswa kelas X-XII jurusan Airframe Power Plane (bodi, rangka, dan mesin pesawat) dan Electrical Avionics (sistem kelistrikan, elektronika, dan instrumen pesawat) di garasi tertutup dekat hanggar di halaman belakang sekolah.

Untuk proyek percontohan ini, sekolah tidak membentuk tim khusus. Semua siswa di kedua jurusan itu terlibat agar memiliki kesempatan belajar yang sama. Caranya, setiap hari secara bergantian ada 20 siswa yang merakit pesawat dengan pembagian kerja pagi (pukul 07.00-12.00) dan siang (pukul 13.00-18.00). Paling tidak ada 11 guru dan tenaga ahli perakit yang setiap hari bertugas mendampingi siswa.

"Tujuannya bukan hanya membuat pesawat, melainkan juga memberikan kesempatan siswa belajar," kata Ahmad Budiman, marketing Jabiru yang juga guru di SMK 29 Penerbangan.

Hanya dalam tiga bulan, perakitan sudah 95 persen. Tenaga ahli dari FASI, Raharjo, mengatakan, perakitan sudah masuk tahap finishing seperti pendempulan dan pengecatan. Dalam waktu paling tidak sebulan, Jabiru J430 sudah bisa uji mesin dan terbang di Bandara Pondok Cabe. ”Pesawat ini tidak akan dijual karena masih proyek percontohan. Akan dipakai untuk siswa SMK sendiri sebagai pesawat latih,” ujarnya.

Produksi massal

Pesawat Jabiru J430 dikenal memiliki daya jelajah yang jauh dan mampu terbang hingga tujuh jam berbekal 135 liter bahan bakar AVGAS 100/300 MOGAS dengan oktan rating 95 RON (setara pertamax plus) di bagian sayap dan 6 liter di bawah kursi belakang.

Pesawat ini dinilai potensial sebagai alternatif transportasi antarpulau. Dedi mengatakan, dia sudah didekati individu-individu yang ingin dibuatkan pesawat. Namun, semua masih menanti hasil uji mesin dan uji terbang Jabiru J430.

Pemerintah juga diharapkan tetap memberikan dukungan dalam perizinan dan pembelian komponen pesawat. Ketika membeli komponen Jabiru J430, pemerintah harus mengeluarkan biaya Rp 700 juta karena semua komponen diimpor dari Australia. Adapun biaya untuk pajak sebesar Rp 350 juta dan operasional perakitan harus ditanggung sekolah. "Untung didukung komite sekolah," kata Dedi.

Jika sudah diproduksi massal, pesawat akan dilepas dengan harga minimal Rp 1,4 miliar. Keuntungan hasil penjualan, kata Budiman, akan kembali dialokasikan untuk perakitan selanjutnya, termasuk membayar gaji tenaga ahli.

Peran tenaga ahli sangat penting karena kemampuan guru masih harus ditingkatkan. Padahal, merakit pesawat tidak boleh ada kesalahan sama sekali karena jika mesin mogok, misalnya—berbeda dengan mobil—risiko pesawat sangat besar.

Saat ini sebagian guru memiliki lisensi (A1, A4, C2, C4) sebagai teknisi penerbangan dan sebagian lagi memiliki sertifikat Basic Aircraft Technical Knowledge, semacam kursus dasar pengetahuan pesawat terbang yang diselenggarakan PT Garuda Indonesia.

Kini SMK 29 Penerbangan juga berencana membuka sekolah penerbangan. Dengan empat jurusan, yakni Airframe Power Plane, Electrical Avionics, Electronical Industry, serta Teknik Pendingin dan Tata Udara, SMK 29 Penerbangan saat ini menampung 850 siswa.

"Jadi, siswa tidak hanya ahli merakit, tetapi juga bisa menerbangkan pesawat," kata Dedi.(Luki Aulia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com