Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lingkaran Setan Pemanasan Global

Kompas.com - 21/12/2011, 03:17 WIB

AGNES ARISTIARINI

Ketika anggota delegasi sejumlah negara sibuk bernegosiasi dalam Konvensi Perubahan Iklim PBB di Durban, Afrika Selatan, di Kutub Utara yang dingin, para peneliti sibuk mengamati gelembung lewat lubang permukaan danau yang beku.

Gelembung yang terus bermunculan itu pecah di permukaan. Setiap kali gelembung meletus, sejumlah metana lepas ke udara. Inilah gas rumah kaca paling kuat yang berasal dari pembusukan sisa-sisa tanaman di dalam danau yang hidup 30.000 tahun lalu.

”Inilah titik panas itu,” kata Katey M Walter Anthony, ketua tim peneliti gabungan dari sejumlah negara, seperti dikutip The New York Times, pekan lalu.

Belahan Bumi bagian utara memang menyimpan karbon dalam daun, akar, dan berbagai bentuk organik lain yang membeku dalam suhu minus tanah bersalju abadi. Ketika suhu memanas, lapisan es dan fosil pun mencair. Lepaslah metana dan karbon dioksida, gas-gas rumah kaca yang memerangkap panas dan kemudian menaikkan suhu Bumi.

Fosil beku organik itu terhampar di hampir seperempat kawasan Kutub Utara, menyimpan karbon hingga dua kali lipat karbon yang ada di atmosfer sekarang. Kehadiran gas-gas rumah kaca ini memicu pemanasan global. Disebut gas rumah kaca karena mekanisme kerjanya memang seperti rumah kaca di kawasan pertanian. Rumah kaca memerangkap gelombang inframerah agar ruangan tetap hangat dan memaksa tanaman di dalamnya tumbuh sekalipun pada musim dingin.

Sejarah gas rumah kaca

Adalah Svante Arrhenius (1859-1927), ilmuwan dari Swedia, yang pertama kali menyatakan pembakaran bahan bakar fosil bisa memicu pemanasan global, tahun 1896. Teorinya yang mengaitkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dengan suhu Bumi ini adalah bagian dari risetnya tentang berakhirnya zaman es.

Temuan ini sempat terlupakan karena pada masa itu aktivitas manusia belum begitu luar biasa seperti sekarang sehingga pemanasan Bumi lebih dikaitkan dengan aktivitas Matahari dan penguapan air laut.

Tahun 1955, Gilbert Plass mempresentasikan kemampuan gas karbon dioksida menyerap gelombang inframerah. Namun, seperti disampaikan dalam Lenntech—majalah ilmiah populer rintisan alumni Technical University di Delft, Belanda—baru pada tahun 1976 Guru Besar Biologi Lingkungan dari Stanford University, Stephen Schneider, memprediksi dampak pemanasan global akibat kehadiran gas rumah kaca.

Banyak penelitian yang kemudian mengonfirmasi gagasan ketiga ilmuwan di atas pada akhir 1980-an dan terminologi dampak rumah kaca akhirnya mengerucut pada tahun 1988.

Ada teori yang menyebutkan bahwa gas-gas di atmosfer yang memiliki atom tiga atau lebih akan memerangkap radiasi gelombang inframerah. Ada pula ilmuwan dari College of Earth and Mineral Science di Pennsylvania University yang berpendapat bahwa atmosfer sebenarnya tidak menjebak radiasi, tetapi menyerap dan memancarkan panas kembali dengan panjang gelombang yang berbeda.

Meski demikian, kedua teori sepakat bahwa suhu Bumi dipengaruhi oleh aktivitas dalam selimut atmosfernya. Ini berlanjut dengan kesadaran bahwa pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan.

Dengan demikian, lahirlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Saat itu, yang sangat terasa adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan, serta musnahnya jutaan spesies keanekaan hayati sebagai ikutannya.

Aktivitas manusia

Hampir 20 tahun lalu, penduduk dunia telah meningkat tiga kali lipat dibandingkan awal abad ke-20. Saat itu, produk domestik bruto dunia meningkat 21 kali, konsumsi bahan bakar fosil meningkat 30 kali, dan produksi industri meningkat 50 kali.

Gas rumah kaca bukan hanya karbon dioksida, melainkan juga beraneka dengan kehadiran metana, ozon, dan chlorofluorocarbon (CFC). Gas-gas ini berlipat-lipat lagi kapasitasnya menyerap radiasi dibandingkan karbon dioksida, dan sumbernya adalah penggunaan bahan bakar fosil dalam industri yang masif.

Tidaklah mengherankan jika Agenda 21 yang dihasilkan dalam KTT Bumi terus dilanjutkan dengan berbagai konvensi, termasuk di antaranya Protokol Tokyo yang monumental itu. Upaya mengatur emisi gas rumah kaca inilah yang terus coba dijabarkan implementasinya, termasuk di Durban, awal Desember lalu.

Sayangnya, Platform Durban sebagai hasil konvensi tersebut masih mengecewakan banyak pihak. Meski negosiasi sempat mundur dua hari, platform tersebut belum juga menyepakati angka, bentuk, dan periode pelaksanaan Protokol Kyoto. Kalaupun ada kabar baik, hal itu lebih pada kembalinya kepercayaan dunia pada kerangka kerja multilateral untuk mengatasi perubahan iklim. Padahal, temuan di Kutub Utara itu jika tidak segera disikapi akan menjadi lingkaran setan yang bisa memusnahkan kehidupan di Bumi. Adakah yang mau mengalah untuk membuat Bumi menjadi lebih baik?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com