Gempa di Jepang, misalnya, membuat industri mobil di hampir seluruh dunia terganggu karena pabrik pembuat beberapa komponen vital otomotif ikut rusak atau tutup akibat gempa dan tsunami. Beberapa negara pun mulai memikirkan sumber pasokan komponen alternatif di luar Jepang.
Demikian juga banjir besar di Thailand, yang menghentikan produksi pabrik-pabrik otomotif dan elektronik dari Jepang, seperti Honda, Toyota, dan Nikon. Menyadari fakta bahwa investasi mereka di negara itu bisa terancam sewaktu-waktu, beberapa perusahaan Jepang dikabarkan mulai berpikir mencari negara lain untuk membangun pabrik.
Banjir di Australia memaksa beberapa raksasa pertambangan batubara berhenti berproduksi dan jalur ekspor terputus. Australia adalah negara pengekspor terbesar batubara kokas dan terbesar kedua batubara termal sehingga penghentian produksi dan ekspor ini membuat beberapa negara mulai mencari alternatif sumber batubara baru.
Dinamika hubungan internasional dan relasi antarnegara pun berubah. Jika berlangsung terus-menerus, bencana-bencana berskala sebesar ini bukan tak mungkin akan mengubah peta geopolitik dunia.
Apa penyebab berbagai bencana alam yang jumlahnya makin banyak, makin merata, dengan skala yang makin besar, dan kedatangannya makin sukar diprediksi itu?
Para ilmuwan berpendapat, semua bencana akibat cuaca ekstrem adalah dampak tak terbantahkan dari perubahan iklim akibat pemanasan global. ”(Cuaca) ekstrem ini adalah aspek paling kentara dari perubahan iklim. Saya pikir masyarakat menyadari itu,” tutur Jerry Meehl, ilmuwan senior dari Pusat Riset Atmosfer Nasional AS, seperti dikutip Associated Press.
Kenaikan suhu udara memicu penguapan air yang tinggi yang menyebabkan jumlah uap air di udara makin banyak. Suhu panas juga menambah jumlah energi pada sistem cuaca sehingga meningkatkan kemungkinan curah hujan yang tinggi dan dinamika pembentukan badai dan topan. (dahono fitrianto)