Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Haul Krakatau Mulai Dilupakan Warga

Kompas.com - 11/12/2011, 16:53 WIB

KOMPAS.com - Mamad Salwa (57) adalah warga Caringin di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dia generasi keempat saksi mata letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883. Mamad masih memelihara ingatan petaka Krakatau yang dikisahkan orangtuanya secara turuntemurun. "Hari itu, Jumat, 23 Syawal tahun 1300 Hijriah. Setelah bunyi letusan yang sangat keras, api menyembur dari arah Krakatau di tengah laut. Lalu langit tiba-tiba menjadi gelap," kisahnya.

Laut pun surut. Ikan menggelepar di pantai. "Kakek buyut saya segera lari karena ketakutan. Tetapi, banyak warga desa lainnya yang justru ke laut mengambil ikan. Merekalah yang kemudian menjadi korban," kata Mamad.

Saat sebagian besar warga sibuk mengambil ikan di pantai atau sekadar terperangah melihat keajaiban itu, air laut tiba-tiba datang menerjang. Gelombang tsunami menghantam, menewaskan nyaris seluruh warga desa. ”Kakek buyut kami selamat, tetapi saudara dan tetangganya kebanyakan tewas. Total warga Labuan yang tewas disebutkan 7.000 orang,” katanya.

Tiap tahun Mamad dan beberapa warga lainnya menggelar haul, semacam ritual doa bersama untuk mendoakan leluhur mereka yang menjadi korban. "Kami diberi amanat oleh orangtua agar setiap tahun menggelar haul ini," kata dia.

Tahun ini haul kembali diperingati. Namun, hanya sekitar 30 orang yang datang. Pengeras suara sudah berkali-kali memanggil warga agar datang ke Masjid Besar Labuan, tempat doa bersama akan digelar. Namun, sebagian besar warga tak acuh.

"Acara itu cuma begitu-begitu saja dan sudah sering dilakukan," kata Nuril (24) yang memilih menjaga warung kelontongnya, sekitar 20 meter dari Masjid Labuan. Dari warungnya, suara doa bersama itu jelas terdengar.

Mamad Salwa resah dengan semakin sedikitnya warga yang datang ke haul. ”Terutama anak-anak muda, mereka tidak mengerti dan tidak peduli dengan riwayat tanah ini,” kata dia. Padahal, menurut Mamad, peringatan ini sebenarnya bukan sekadar mendoakan leluhur. Mereka sekaligus merawat ingatan dan mendorong warga agar terus waspada bahwa tetangga mereka, Gunung Krakatau, bisa sewaktu-waktu kembali mengirim bala bencana.

Ingatan manusia memang terlalu pendek, apalagi bila dibandingkan periode letusan besar gunung api yang bisa ratusan hingga ribuan tahun. Ketika Anak Krakatau tengah membangun kekuatan sebagaimana leluhurnya, ingatan warga terhadap petaka yang diakibatkan letusan Gunung Krakatau justru semakin pudar.

Warga kembali memadati kawasan yang pernah dihancurkan tsunami dan dihanguskan awan panas akibat letusan Krakatau pada 1883, nyaris tanpa persiapan memadai. Tsunami yang berpotensi kembali terjadi hanya dibentengi bukit-bukit yang dikeruk, tanggul yang rapuh, jalur evakuasi yang tumpang tindih dengan pipa gas rawan meledak, serta pengetahuan tentang mitigasi bencana yang minim.

Di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, rumah-rumah nelayan rapat berjajar di pinggir pantai. Penghuninya kebanyakan berasal dari Cirebon, Brebes, dan sejumlah daerah di Jawa Timur. Tsunami setinggi 15 meter yang melanda kawasan ini lebih dari 200 tahun lalu tak terlihat lagi jejaknya, selain batu karang mati yang teronggok di pantai. Saat tsunami melanda kawasan ini, batu karang itu terbongkar dari dasar laut dan terbawa hingga jauh ke daratan. Sebagian batu karang itu kini dibongkar dan diratakan untuk fondasi rumah.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com