Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geliat Anak Krakatau yang Hiperaktif

Kompas.com - 02/12/2011, 06:29 WIB

KOMPAS.com — Semula kami tak menganggap aneh lapisan putih kekuningan yang menutupi sebagian besar punggung Anak Krakatau. Hingga dua bulan kemudian, di ruang pusat pemantauan gunung api di Bandung, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono menunjukkan foto terbaru yang diambil dari Anak Krakatau. Saat itu 20 Oktober 2011, status Anak Krakatau yang selama beberapa bulan Waspada dinaikkan menjadi Siaga sejak 30 September 2011.

"Anak Krakatau seperti 'panuan', putih semua," katanya, sambil menunjukkan foto lapisan putih yang nyaris menutupi seluruh tubuh Krakatau. Warna putih kekuningan, menurut Surono, menandakan adanya gas belerang yang bocor karena tingginya tekanan dari dalam perut gunung. "Fenomena kebocoran sedemikian luas ini belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Surono.

Tak hanya lapisan putih, kompleks Krakatau juga mengirim ribuan gempa setiap harinya. "Lihatlah, nyaris tiap menit, Krakatau mengirim lima kali gempa. Dalam sehari bisa lebih dari 5.000 gempa. Ini tidak biasanya," kata Surono, menunjukkan garis di layar komputer yang naik-turun secara hiperaktif. Komputer di Ruang Pemantauan Gunung Api di Bandung itu tersambung dengan dua alat deteksi gempa di Anak Krakatau.

Gempa yang terjadi di gunung api berstatus Siaga lain biasanya hanya puluhan hingga ratusan kali. Oleh karena itu, polah Anak Krakatau memusingkan. Surono memperkirakan, letusan Anak Krakatau—jika pun meletus—kemungkinan lebih besar dibandingkan rentetan letusan tahun 2007.

Surono dan stafnya terus berjaga-jaga memantau perkembangan Anak Krakatau. Walaupun pada saat yang bersamaan, enam gunung api berstatus Siaga dan 16 lainnya Waspada, perhatian para vulkanolog ini tak bisa lepas dari Anak Krakatau. Perkembangan Anak Krakatau terus terpampang di layar komputer Pemantauan Gunung Api itu. Nyaris sepanjang tahun, gunung ini meletus. Biasanya hanya rehat beberapa saat untuk kemudian meletus lagi.

Sebagaimana suksesi alam yang terus berkembang di atasnya, Gunung Anak Krakatau juga terus tumbuh dengan cepat. Sangat cepat. "Pertama kali ke sini tahun 1980-an, hanya butuh setengah jam untuk sampai di puncaknya. Sekarang gunung ini sudah jauh lebih tinggi. Dua jam mendaki juga belum tentu bisa sampai puncak," kata Tukirin.

Anak Krakatau, yang muncul dari dasar laut sedalam 180 meter kini menjelma menjadi sosok yang megah. Sudradjat (1982) mencatat, dalam lima tahun, kawah Anak Krakatau tumbuh dari ketinggian 8,93 mdpl menjadi 66,8 mdpl pada tahun 1933, dan menjadi 132,32 mdpl pada 1941, lalu menjadi 169,67 mdpl pada 1968. Walaupun beberapa ambruk karena terjadi letusan, secara bertahap Anak Krakatau terus bertambah tinggi. Penambahan tinggi juga diikuti dengan bertambahnya luas pulau. Pada pengukuran tahun 1930, panjang Pulau Anak Krakatau masih 450 meter x 900 meter, tetapi pada 1981 telah mencapai 1.950 meter x 2.000 meter.

Dengan menganalisis kecepatan pertumbuhannya, Sutikno Bronto (1990) memperkirakan, pada tahun 2040 volume Gunung Anak Krakatau akan melebihi volume Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan menjelang letusan tahun 1883.

Meskipun Anak Krakatau menunjukkan tanda-tanda semakin tinggi dan aktif, menurut Surono, publik tak perlu terlalu cemas. Krakatau masih dalam tahap membangun. ”Sifat magma Anak Krakatau belum seperti ibunya yang dacite (kental). Sekarang magma masih basaltik (encer) dan miskin gas. Meletus mungkin iya, dan bisa lebih besar dibandingkan tahun 2007, tetapi belum bisa membongkar tubuh gunung seperti pendahulunya saat meletus 1883,” kata dia.

Geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelen (1948), menyebutkan, perubahan sifat magma dari basaltik ke dacite di Anak Krakatau kemungkinan memakan waktu beberapa abad. Namun, proses ke arah itu ternyata tengah berjalan. Geolog Belanda, George Adriaan De Neve (1981), mengamati adanya perubahan kimia magma di Krakatau dari basa yang ditandai dengan kadar silika (SiO2) rendah ke asam dengan kadar silika (SiO2) tinggi.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com