Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Etika Politik untuk Hapus Oligarki

Kompas.com - 21/11/2011, 01:50 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam 10 tahun terakhir, pemilu sebagai praktik demokrasi dikuasai oleh sekelompok elite pragmatis. Dampaknya, pemilu dan demokrasi di Indonesia terjebak dalam oligarki yang dipresentasikan oleh partai politik, negara, dan pasar. Dibutuhkan kultur dan etika politik untuk menghapus oligarki dalam demokrasi.

Hal itu mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku Pemilu dalam Cengkeraman Oligarki karya Irvan Mawardi, mantan aktivis pemilu yang kini menjadi Hakim PTUN Makassar, Minggu (20/11), di Jakarta.

Selama ini, menurut Irvan, pemilu yang merupakan praktik demokrasi dijalankan dengan prinsip-prinsip oligarki atau dominasi kekuasaan oleh segolongan elite. Praktik oligarki bertambah subur karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi belum sepenuhnya mampu bersikap dan bertindak mandiri, rasional, dan kritis dalam menyalurkan hak politiknya.

”Sikap masyarakat yang pragmatis dan tidak rasional mudah dimainkan oleh kekuatan oligarki, seperti birokrasi, modal, parpol, primordialisme, dan kekuatan negara,” ujar Irvan.

Pengaruh oligarki terindikasi dari sejumlah fenomena dalam pemilu dan pilkada, yaitu proses pemilu kerap dimanfaatkan elite birokrasi, pilkada banyak dipengaruhi kekuatan uang para kandidat, dan muncul kekuatan elite primordial.

Untuk menghilangkan cengkeraman oligarki ini, Irvan mengusulkan agar parpol merevitalisasi diri dengan menganut paradigma bahwa politik adalah alat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Selain itu, diperlukan juga peningkatan partisipasi dan kritis masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Malik Haramain, yang menjadi pembedah buku, mengakui, semua partai dikuasai oligarki dalam derajat yang berbeda-beda. Oligarki semakin berkembang karena transaksi politik begitu bebas. Orang yang memiliki uang dengan mudah mendapatkan urutan pertama dalam pilkada.

Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, oligarki muncul karena wakil rakyat di legislatif tidak memiliki etika dan kultur politik yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat. ”Percuma saja peraturan diperketat dan sistem diperbaiki. Oligarki akan terus terjadi sepanjang kultur politik tidak dimiliki elite,” katanya.

Jadi, kata Ray, persoalannya bukan masyarakat harus meningkatkan kekritisannya terhadap calon wakilnya, melainkan politisi harus meningkatkan etika dan kultur politik mereka. (FAJ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com