Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plasmodium Orangutan ke Manusia

Kompas.com - 09/11/2011, 03:41 WIB

Jakarta, Kompas - Parasit malaria, plasmodium, berkembang sangat cepat. Akibatnya, obat yang umum digunakan sering tak mempan. Butuh penelitian dasar secara terus-menerus demi obat malaria yang sesuai.

Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Sangkot Marzuki, seusai pembukaan Konferensi Internasional Eijkman ke-5 di Jakarta, Selasa (8/11), mengatakan, plasmodium yang biasa ditemukan pada orangutan sudah ditemukan pada manusia. Demikian pula sebaliknya.

Kasus ini pertama kali dilaporkan di Sarawak, Malaysia, beberapa tahun lalu. Di Indonesia, kasus ini dilaporkan pada satu orang yang tinggal di perbatasan. Besaran, sebaran, ataupun karakter parasit dan gejala klinis malaria ini belum diketahui.

”Berpindahnya parasit malaria dari orangutan ke manusia akan menyebabkan perubahan genetik pada plasmodiumnya,” katanya.

Wakil Direktur LBM Eijkman Herawati Sudoyo mengungkapkan, perubahan genetik plasmodium akan makin menyulitkan pengobatan malaria. Apalagi banyak ditemukan plasmodium yang resisten obat-obatan malaria tertentu, seperti klorokuin.

Kondisi ini menuntut adanya penelitian pada tingkat mitokondria (organ sel penghasil energi utama pada sel) untuk terus memperbarui obat malaria.

Ancaman utama

Malaria masih menjadi ancaman utama Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, kasus baru malaria tahun 2009-2010 terjadi di semua provinsi, termasuk DKI Jakarta.

Secara nasional, kasus baru malaria 22,9 per 1.000 orang. Di luar Jawa-Bali, 45,2 per 1.000 orang, atau enam kali lipat kasus di Jawa-Bali. Kasus tertinggi terjadi di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta mengatakan, Agenda Riset Nasional 2009-2025 untuk pengembangan obat difokuskan pada obat antimalaria. Untuk itu, penelitian dasar untuk mengetahui perkembangan parasit malaria perlu terus didorong.

Organisasi Kesehatan Dunia sejak 2004 merekomendasikan artemisinin sebagai obat malaria. Selain ampuh, jenis obat yang banyak diproduksi China ini termurah di antara obat lain.

Staf Ahli Menristek Bidang Kesehatan dan Obat Amin Soebandrio mengatakan, Pusat Penelitian Kimia LIPI bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu sedang mengembangkan proses ekstraksi artemisinin dari tanaman Artemisia annua L.

Untuk skala laboratorium, proses ini sukses. Peneliti sedang mengembangkan proses ekstraksi agar kristal yang dihasilkan lebih banyak sehingga harga obat lebih murah dari produksi China. ”Diharapkan, 2-3 tahun lagi dihasilkan artemisinin produksi Indonesia,” katanya. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com