Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Kehidupan Lain di Luar Bumi

Kompas.com - 09/11/2011, 02:53 WIB

AGNES ARISTIARINI

”Seringnya saya menemukan bentuk-bentuk tidak membumi yang berputar-putar di lemari pendingin, membuat saya percaya bahwa selalu ada kemungkinan kehidupan hadir di tempat lain.” Pete Conrad (Astronot, 1930-1999)

Extra Terrestrial, film legendaris karya Steven Spielberg yang lebih dikenal sebagai ET, adalah salah satu wujud kerinduan manusia atas kehadiran makhluk hidup lain di semesta ini.

Menggambarkan persahabatan alien dengan Elliot yang baru berumur 10 tahun, film ini mencetak sukses luar biasa begitu diputar tahun 1982. ET bahkan memecahkan rekor pendapatan film Star Wars—juga bercerita tentang kehidupan lain di semesta—dan kemudian memegang rekor film dengan pendapatan tertinggi selama 11 tahun.

Manusia memang sudah lama penasaran atas ”kesendiriannya” di semesta ini. Filsuf Metrodorus (330 SM-277 SM) pernah mengatakan, ”Meyakini Bumi sebagai satu-satunya tempat peradaban di jagat raya sesungguhnya sama absurdnya dengan menyatakan hanya ada satu benih yang tumbuh dari sejumlah benih yang ditabur.”

Debu di semesta

Bumi ibaratnya adalah debu di alam semesta. Bayangkan, Bumi hanya salah satu planet dari sebuah sistem tata surya, sementara Matahari sebagai pusatnya hanya salah satu bintang dari 400 miliar bintang di Galaksi Bima Sakti. Selanjutnya, Galaksi Bima Sakti hanya satu dari 100 miliar galaksi. Dengan demikian, kemungkinan adanya makhluk lain sesungguhnya besar secara statistik.

Tidaklah mengherankan jika berbagai upaya terus dilakukan untuk membuktikan kehadiran makhluk cerdas lain ini. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), misalnya, tahun 1992 memasang teleskop radio raksasa di sejumlah observatorium, dari padang gurun Mojave di California hingga hutan basah Puerto Riko.

Dengan bantuan superkomputer, teleskop radio ini tidak hanya memindai pola-pola gelombang elektromagnetik seperti gelombang radio dan televisi di semesta, tetapi juga menganalisisnya. Meski pendanaan proyek ini dihentikan Kongres AS setahun kemudian, lembaga nirlaba SETI (The Search for Extra-Terrestrial Intelligence) Institute di California melanjutkan proyek ini dengan dana dari pihak swasta. Disebut Phoenix, proyek ini melanjutkan upaya pencarian makhluk cerdas lain dengan mengamati sekitar 1.000 bintang mirip Matahari.

Lepas dari segala kontroversinya, spekulasi kehadiran kehidupan lain di luar Bumi memang selalu menarik. Seperti diberitakan BBC News, tak kurang dari Universitas Harvard—dengan proyeknya, Origins of Life—dan proyek serupa di Universitas Arizona, juga Universitas Washington dan Universitas College London, terlibat dalam upaya pencarian ini. Bahkan, sebuah simposium tentang SETI akan diselenggarakan Universitas College London tanggal 11 November ini.

Tiga pilar

Berbagai peralatan baru dan juga data yang lebih canggih tampaknya akan membawa para ilmuwan makin dekat ke jawaban pertanyaan mereka sekian lama. Menurut Harvard Gazette, ada tiga pilar yang bakal membuat penelitian ini lebih signifikan.

Pertama, misi Kepler. Diluncurkan tahun 2009, teleskop antariksa ini ditujukan untuk mengobservasi planet-planet lain yang mirip Bumi di sekitar bintang-bintang. Syaratnya planet tersebut berada di kawasan yang disebut Zona Goldilocks: tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari bintang sumber energinya sehingga memungkinkan kehidupan tumbuh dan berkembang. Menurut Dimitar Sasselov, salah satu peneliti dalam misi ilmiah Kepler, sampai Juni 2010 Kepler telah menemukan 700 planet kandidat.

Pilar kedua adalah teleskop antariksa James Webb. Rencananya akan diluncurkan tahun 2014, teleskop yang berdiameter 6,5 meter ini diharapkan cukup besar untuk memudahkan para ilmuwan mengamati planet-planet yang ditemukan Kepler. Begitu canggihnya teleskop ini sehingga letusan gunung api dengan kekuatan 10-100 kali letusan Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991 juga dapat diteliti. Seperti diketahui, kegiatan gunung api dan lempeng tektonik adalah salah satu proses geologi yang penting untuk mendukung hadirnya kehidupan.

Senyawa di atmosfer

Terakhir adalah peningkatan kemampuan para peneliti untuk membaca atmosfer planet di seputar bintang-bintang. Seperti yang pernah didemonstrasikan profesor astronomi dari Harvard, David Charbonneau, dan timnya, mereka kini mampu mengukur cahaya yang datang dari bintang saat planet melintas di depannya.

Ilmuwan menggunakan spektograf untuk mengukur pendar cahaya bintang di atmosfer. Alat ini memisahkan cahaya menjadi gelombang dan warna. Karena setiap senyawa memiliki gelombang dan warna yang khas, maka ilmuwan bisa menentukan kandungan atmosfer di planet tersebut.

”Kehadiran senyawa tertentu akan mengindikasikan adanya kehidupan. Bisa karena senyawa itu dibutuhkan kehidupan atau senyawa itu muncul karena adanya kehidupan,” kata Lisa Kaltenegger, astronom di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.

Salah satu yang paling dicari tentu saja adalah oksigen, senyawa yang dikeluarkan oleh mikroba dan tanaman dalam fotosintesis. Senyawa lain yang juga menjadi penanda kehidupan adalah metana, karbon monoksida, dan nitrogen oksida, yang diproduksi oleh bakteri. ”Air pun termasuk kita cari karena uap air termasuk penanda kehidupan penting di Bumi,” kata Kaltenegger menambahkan.

Paralel dengan penelitian jagat raya, para peneliti di Proyek Origins of Life juga meneliti di laboratorium untuk memahami asal-usul kehidupan. ”Kami tengah mencoba memahami bagaimana materi genetik yang primitif mereplikasikan diri,” kata Jack Szoztak, profesor genetik peraih Hadiah Nobel dari Fakultas Kedokteran Harvard.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com