Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Way Kambas, Cinta, dan Elegi Gajah Sumatera

Kompas.com - 05/11/2011, 01:46 WIB

Hubungan batin manusia dan gajah di Way Kambas melintasi batas rasional. Masyarakat setempat mengultuskan gajah dengan menyebutnya ”si mbah”. Mereka juga meyakini, berkat dan musibah yang menghampiri kehidupan manusia bergantung pada relasi tersebut. Yulvianus Harjono dan Irma Tambunan

Suyuti (56), sekretaris forum rembuk desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Provinsi Lampung, merasakan kedekatan hubungan warga setempat dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Ia pernah melihat seorang warga melaporkan kehadiran gajah di sekitar desa, ”Pak Lurah, Si Mbah keluar dari hutan.”

Namun, pertemuan masyarakat dengan gajah, saat itu, bukanlah sebuah konflik, seperti yang kerap terjadi belakangan ini. Masyarakat di pinggir Taman Nasional Way Kambas menghormati gajah sebagaimana menghormati leluhur. Ada keyakinan bahwa dari dalam hutan, gajah mengawasi hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Ia mencontohkan, pernah terjadi perbuatan asusila di Desa Braja Asri, sekitar Taman Nasional Way Kambas. Pelakunya tak mendapat hukuman adat dan formal. Bahkan, orangtua pelaku seolah mendiamkan perbuatan anaknya. Selang beberapa hari kemudian, ayah pelaku tewas diseruduk gajah di sawah.

Masyarakat meyakini satwa bertubuh besar itu dikaruniai ketajaman naluri, penciuman, dan pendengaran. Oleh karena itu, masyarakat harus senantiasa menjaga ucapan dan tindakan agar dapat hidup berdampingan dengan gajah.

Suyuti membuktikannya ketika sesumbar mengatakan gajah tidak mungkin masuk ke desanya. Tengah malam, satu rombongan gajah muncul dan memakan hampir 1 hektar padi miliknya.

Relasi batin antara manusia dan gajah juga tergambar kuat pada Operasi Tata Liman dan Bina Liman dari tahun 1982 hingga 1984. Operasi besar-besaran atas komando pemerintah pusat untuk menggiring sekitar 200 gajah dari wilayah tengah, selatan, barat, dan utara Lampung menuju Way Kambas di Lampung Timur itu bertujuan mengatasi maraknya konflik manusia dan gajah, khususnya pasca-kedatangan transmigran asal Jawa dan Bali ke Lampung.

Anggota tim operasi, Sehono (70), mengenang perjalanan menggiring salah satu rombongan gajah, berjumlah 35 ekor, dari Gunung Madu menuju Way Kambas yang berlangsung sebulan. Selama masa penggiringan itu, Sehono merasakan hubungan batin yang kuat dengan gajah. Penggiringan pun berhasil tanpa masalah. Gajah-gajah liar tersebut tidak sekali pun menyerangnya.

”Saya sujud di depan gajah-gajah itu sampai tujuh kali, lalu saya katakan, ’Mbah, kita akan pindah ke Way Kambas. Di sana ada banyak makanan.’ Tiba-tiba semua gajah mengangkat belalainya dan mengeluarkan suara meraung. Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju Way Kambas,” tutur Sehono, Kamis (27/10), mengenang peristiwa yang mengharukan tersebut.

Sehono merasakan ketajaman naluri gajah: marah jika dicemooh, tetapi tak melukai orang yang menyayanginya. Ketika rombongan tersebut akan melintasi Sungai Way Suci, Sehono memberi mereka pisang. Gajah-gajah itu tampak senang.

Siang itu, rombongan gajah berhasil melintasi Sungai Way Suci selebar 60 meter. Para induk berbaris paling depan, diikuti gajah-gajah jantan. Sementara lima bayi gajah berdiri di atas punggung para induk. Inilah puncak perjuangan gajah bersama manusia. ”Kami selamat sampai di Way Kambas,” tutur Sehono.

Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan, Way Kambas seluas 125.600 hektar merupakan habitat terbaik bagi satwa raksasa ini di tengah maraknya pembukaan lahan bagi transmigran.

Nama Way Kambas sendiri lekat dengan gajah. Way berarti sungai dan Kambas adalah sejenis rumput yang paling disukai gajah. Daerah ini merupakan rumah nyaman bagi mereka dan sejumlah satwa liar dilindungi lainnya, seperti badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), dan mentok rimba (Cairina scutulata).

Kondisi hutan tropis dataran rendah berketinggian 50-110 meter di atas permukaan laut ini menghasilkan banyak sabana ilalang dan rawa sebagai tempat gajah makan, minum, dan beristirahat.

Tiga sungai besar mengelilingi Way Kambas, yaitu Way Penet sepanjang 30 kilometer di selatan, Way Gadungan 65 kilometer di utara, dan Way Sukadana 18 kilometer di bagian barat. Di timur taman nasional ini terbentang pesisir sepanjang 65 kilometer. Dengan demikian, sumber air bagi gajah seperti tak akan pernah habis.

”Taman Nasional Way Kambas ibarat rumah bagi gajah dan satwa lain. Selama sumber makanan mencukupi serta mereka merasakan kenyamanan dan keamanan di dalamnya, gajah tak akan merusak tanaman warga,” tutur M Gio, aktivis Wildlife Conservation Society Indonesia Program.

Dengan menjaga taman nasional ini, kita menjaga kelestarian gajah dan berbagai jenis satwa dilindungi lainnya. Selayaknya manusia dan gajah tetap hidup berdampingan.

(Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com