Hanitianto Joedo, pelaku industri animasi di Yogyakarta, kepada Kompas, Senin (31/10), mengatakan, selama ini pihaknya sulit mendapatkan kredit perbankan. ”Saya sudah coba ke beberapa bank. Semuanya menolak karena alasan animasi bukanlah ekonomi produktif sesuai desain perbankan. Akhirnya, kami tidak bisa mencetak karya. Kami hanya mengandalkan pesanan karena mendapatkan modal dari uang muka,” paparnya.
Dia mengatakan, minimnya modal membuat para animator sulit berkembang. Mereka hanya mengerjakan proyek-proyek pesanan dari sejumlah negara. Di negara pemesan, karya itu dikemas ulang tanpa menyebut siapa pembuatnya. ”Kalau kami punya modal, kasusnya akan berbeda. Kita buat karya sesuai gagasan, lalu mereka beli dengan penghargaan tinggi,” ujarnya.
Joedo berharap dengan munculnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah lebih serius dalam mengurus industri kreatif. ”Sekarang ini hampir semua kementerian ikut andil, tapi belum ada yang secara khusus intensif mendampingi kami,” tambahnya.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, potensi pertumbuhan industri kreatif belum dilirik oleh kalangan perbankan sehingga pembiayaan perbankan untuk sektor tersebut masih minim. ”Perbankan dihadapkan pada aturan konvensional dalam pembiayaan. Jaminan industri kreatif berbeda dengan jenis pembiayaan untuk sektor industri lainnya,” ujarnya.
Menurut Hidayat, industri kreatif lahir dari kreativitas manusia. Akan sulit bagi perbankan untuk melakukan pembiayaan tanpa terobosan aturan. ”Perbankan ketinggalan menyikapi pertumbuhan industri kreatif. Seharusnya ada satu aturan di Bank Indonesia yang khusus mengatur industri kreatif,” katanya.
Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah menyampaikan, pada dasarnya BI mendorong bank membiayai sektor usaha yang layak untuk dibiayai. Pengertian layak adalah prospek usahanya baik. Bank juga yakin menyalurkan kredit.
”Kalau soal industri kreatif, bank bisa mengenali lebih jauh sehingga tak sungkan memberikan kredit. Tak kenal, maka tak sayang,” kata Difi.
Meski demikian, Difi mengakui, BI tidak bisa sembarangan menempatkan sektor tertentu dalam sektor ekonomi kredit perbankan. Per Agustus 2011, bank umum mengucurkan kredit
Direktur Strategi dan Keuangan Bank Mandiri Pahala N Mansury memaparkan, Bank Mandiri sebenarnya sudah masuk ke pembiayaan industri kreatif melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sekitar 70 persen dari pembiayaan itu untuk industri kreatif pada kelompok baju, aksesori, tas, dan perhiasan.
Sampai saat ini, belum ada pengelompokan khusus industri kreatif. ”Kalau digabungkan, mungkin ke kredit sektor jasa usaha,” katanya.