KOMPAS.com - Novelis Nicholson Baker pernah berkata, “Sesuatu yang indah tidak mungkin sesuatu yang minor.” Sekecil apa pun peristiwa dalam hidup, bisa menjadi indah dan berdampak besar jika kita bisa menghargainya.
Detil kristal salju yang super kecil jatuh dari langit ke telapak tangan dengan bentuk heksagonal yang simetris. Salju bisa memukau kita hingga terpaku sekian lamanya sampai ia meleleh menjadi air dingin meresap ke pori.
Atau, longsor debu salju yang menderu berjatuhan dari langit dan pohon pinus. Longsor hanya karena sensitivitas alam terhadap gema suara motor ski atau tawa manusia saat berjalan menembus hutan.
Sensasi menjatuhkan diri ke salju yang dalam dan empuk lalu mengepakkan kedua lengan dan kaki hingga membentuk malaikat salju. Sampai sekedar iseng menempelkan lidah ke batangan es yang membeku di tepi atap pondok musim dingin.
Itulah beberapa hal kecil yang menjadi besar dan membahagiakan dalam kelanjutan perjalanan saya ke Lapland, Finlandia, di Lingkar Kutub Utara. Namun kutipan di atas paling mengena untuk pengalaman satu ini.
Ketika untuk pertama kalinya saya menyaksikan dengan mata telanjang dan mulut menganga. Menatap keanggunan dan keagungan tarian pijaran hijau cahaya utara atau Aurora Borealis.
Ia menyala-nyala membakar dan memecut malam yang kelam di tengah padang salju Lapland. Aurora Borealis tentunya indah dan pastinya tidak mungkin sesuatu yang minor.
Siapa itu Aurora?
Secara ilmiah, Aurora Borealis tercipta akibat gesekan medan magnetik bumi dengan partikel bermuatan listrik dari angin matahari di level atmosfer yang tinggi seperti ionosfer dan thermosfer. Fenomena ini hanya terjadi di daerah penghujung utara bumi seperti Kutub Utara, Eropa Utara dan Amerika Utara.
Sementara cahaya selatan hanya terjadi di daerah Antartika atau Kutub Selatan. Di Lapland, penampakan Aurora Borealis ini bisa terlampau sering yaitu hingga 200 kali dalam setahun. Maka tak heran bagi penduduk lokal, kejadian alam ini sudah seperti hujan turun di Bogor pada musim kemarau.
Namun lukisan abstrak alam semesta dari tabrakan spektrum warna Aurora Borealis begitu spektakuler. Ia selalu memesona dan menarik orang dari berbagai pelosok dunia untuk melihatnya langsung, setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Seperti halnya pelangi, Aurora Borealis memiliki gradasi warna yang beragam. Mulai dari jingga kemerahan, ungu kebiruan, hingga hijau zamrud. Begitu menyihir imajinasi manusia seperti sabuk yang melambai atau jilatan api sebelum akhirnya ditelan oleh hitamnya malam.
Manusia menghubungkan fenomena alam ini dengan kedatangan Dewi Fajar bernama Aurora dari Mitologi Yunani. Sementara Borealis berarti ufuk utara. Berbagai folklor dan kepercayaan lokal bermunculan sebagai hasil refleksi manusia setempat yang takjub akan keajaiban alam ini.
Ada yang takut dan menganggap Aurora Borealis merupakan pertanda buruk akan adanya perang atau malapetaka. Ada yang percaya justru Aurora Borealis bisa menjadi medium berkomunikasi dengan nenek moyang. Namun semuanya berlandaskan penghormatan dan kesadaran akan rentannya manusia melawan kekuatan alam.
Menurut kepercayaan beberapa suku Indian di Amerika, kita bisa bersiul untuk membuat Aurora Borealis mendekat. Atau, kita bisa berbisik padanya untuk menyampaikan pesan pada mereka yang berada di alam baka.
Sebaliknya yang berlaku di tanah Lapland, kaum Sammi mengganggap tabu bersiul pada Aurora Borealis yang mereka takuti dan hormati. Di Finlandia, Aurora Borealis dikenal sebagai “Revontulet” atau Rubah Kutub.
Konon, Rubah Kutub berlari kencang ke arah utara dan dengan ekornya menyapu salju ke angkasa menjadi Aurora Borealis. Namun yang mungkin paling unik, menurut kaum Inuit, Aurora Borealis disebabkan oleh arwah nenek moyang mereka yang sedang bermain sepak bola!
Dari Zamrud Khatulistiwa Demi Zamrud Cahaya Utara
Tanpa disadari butuh perjuangan panjang dan bantuan Dewi Fortuna untuk bisa melihat ”keajaiban” alam ini. Kalau saya tengok ke belakang, jarak yang memisahkan saya antara Zamrud Khatulistiwa Indonesia dengan Zamrud Cahaya Utara di Lapland “cuma” lebih dari lima belas ribu kilometer.
Menurut statistik, Aurora Borealis memang sering muncul di Lapland. Namun butuh keberuntungan untuk mendapatkan langit malam yang cukup cerah serta kesabaran mendongakkan kepala merenungi angkasa. Maka tak heran, kaum Inuit konon juga pernah memperingatkan mereka yang mengamati Aurora Borealis terlalu lama bisa menjadi gila.
Jadi sebenarnya walaupun berhasil sampai di Kutub Utara, banyak orang kecewa dan gagal bertatap muka dengan Aurora Borealis. Saya sendiri selalu berharap-harap cemas dan harus menunggu malam terakhir di Lapland untuk akhirnya bisa bernafas lega menemui Aurora Borealis.
Pada malam-malam pertama, akibat cuaca yang kurang baik di siang hari, membuat angkasa malam penuh dengan kabut dan tidak cerah. Aurora kerap mengintip dan mampir sejenak lalu bersembunyi di balik kabut.
Kadang penampakan bisa berlangsung berjam-jam sepanjang malam hingga subuh datang, kadang hanya beberapa menit saja. Sementara itu, kami tidak bisa semalaman membeku berada di bawah terpaan dinginnya angin Kutub Utara menunggu kesempatan untuk bersua dengan Aurora Borealis.
Beberapa teman berteriak-teriak di luar pondok mengumandangkan aura kemenangan dan kesenangan. Mereka sudah berhasil melihat sekilas Aurora Borealis yang langsung menghilang ketika kami keluar pondok dengan hati resah bercampur iri.
Akhirnya kesempatan emas datang pada malam terakhir. Kami sedang bercengkerama di dalam pondok ketika seorang teman dari luar meminta kami untuk mematikan lampu pondok agar dia bisa mengambil foto Aurora Borealis dengan lebih baik.
Spontan kami berhamburan keluar pondok. Lalu lari secepat kilat ke padang salju terdekat di pinggir hutan untuk menyaksikan pemandangan spektakuler dalam hidup kami.
Surga yang Hilang di Ujung Utara
Pecutan sabuk hijau zamrud elektrik menari-nari dengan tempo lamban. Bagai jilatan api berkilometer panjangnya pada kanvas hitam langit. Diiringi simfoni deruan angin Kutub dengan selingan heningnya malam dan teriakan manusia yang tercekat karena decak kagum.
Cukup membuat bulu kuduk merinding dan hati berdegup kencang. Kalau saja impresionis Vincent Van Gogh bersama kami malam itu, mungkin ia mengurungkan niat untuk mengakhiri diri sebelum bisa menangkap momen warna hijau menyalak Aurora yang penuh dinamika, energi dan vitalitas kehidupan, meliuk-liuk resah namun tenang seperti dalam badai menuju infinitas.
Layaknya siluman ular hijau bangun dari tidur, deretan panjang pohon pinus menambah aksen bentuk Aurora Borealis malam itu yang bersembunyi naik turun di balik horizon hutan. Sementara deretan manusia berbaris di pematang padang salju, menonton atraksi alam semesta bermain-main dengan warna.
Inilah instalasi seni alam terbesar sepanjang masa. Seluruh indera dikerahkan untuk melahap pemandangan luar biasa ini. Setelah berlompatan kegirangan, saya hanya bisa terdiam dengan senyum lebar di wajah.
Sulit menjelaskan sensasi sihiran Aurora Borealis. Tidak seperti gegap gempita kembang api atau serenitas pelangi. Memang ada perasaan yang sama akan ketakutan bahwa ini akan segera berakhir dan kita harus menikmatinya secara maksimal.
Batasan waktu, geografis dan keberuntungan memang selalu memicu katarsis tersendiri. Layaknya jaman koboi di alam liar, beberapa dari kami bersenjatakan kamera super canggih menembak ke langit bertubi-tubi, berusaha mengabadikan Aurora berpose di alam liar Kutub Utara.
Tetapi tetap saja lembaran foto, publikasi status di situs sosial media, atau bahkan menulis artikel ini, tidak cukup menangkap pengalaman multi dimensi ini secara holistik. Anda harus merasakannya sendiri.
Ada yang berbeda dengan Aurora, ada sesuatu yang magis dan mungkin bisa menjurus pada efek psikedelik. Seperti surga yang hilang di penghujung utara, keindahan sementara Aurora Borealis membuat kami tercengang dan melihat dunia dari perspektif yang beda, baru dan berani.
Kami seperti dalam salah satu adegan film seri fiksi ilmiah X-Files, berdiri bersama agen FBI Mulder dan Scully menanti UFO atau fenomena alam yang tidak bisa dijelaskan datang dari angkasa yang tak berbatas. Kami memandang Aurora sambil mencoba mencari jawaban atas kehidupan. ”The Truth is Out There”. (IMY FERICA dari Helsinki, Finlandia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.