Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uji Transgenik Dipercepat

Kompas.com - 18/10/2011, 03:01 WIB

Jakarta, Kompas - Kementerian Pertanian mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat uji penanaman produk rekayasa genetik (transgenik). Langkah itu diharapkan dapat mengatasi masalah sumbatan kebijakan dalam pembangunan ekonomi.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kemtan Haryono, Senin (17/10), di Jakarta, mengungkapkan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas dikeluarkan dalam rangka mengatasi hambatan regulasi/kebijakan terkait Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Selama ini, kata Haryono, sebelum ada Permentan No 61/2011, uji penanaman ataupun pelepasan varietas atau benih berjalan lamban.

”Dulu, uji multilokasi diawali dengan amdal. Kalau amdal lolos, baru masuk budidaya,” katanya.

Akibat lambannya proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ini, para pengguna instrumen kebijakan tersebut banyak memprotes. ”Dengan permentan itu, semangatnya mempercepat pengurusan, karena pengurusan amdal, analisa budidaya, keamanan pakan dan pangan dilakukan secara paralel,” katanya.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo menyambut baik keluarnya kebijakan baru yang terkait dengan pengembangan transgenik ini.

Rudi mengatakan, populasi penduduk Indonesia terus meningkat. Tanpa ada produksi pangan yang cukup, sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan warga. Produksi pangan yang cukup di tengah keterbatasan sumber daya lahan dan sulitnya pencetakan sawah baru, bisa diatasi salah satunya dengan peningkatan produktivitas.

Utamakan keselamatan

Bioteknologi modern akan mampu menjawab tantangan tersebut. Meski begitu, Rudi mengingatkan agar persoalan keselamatan harus diutamakan, baik terkait keselamatan lingkungan, pangan, maupun pakan.

Sudah saatnya penelitian di Indonesia tidak saja mengejar produktivitas, tetapi juga meneliti seberapa aman produk transgenik bagi lingkungan ataupun pangan.

Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik Agus Pakpahan mengatakan, orang atau lembaga wajib mengajukan permohonan pengakuan produk rekayasa genetik kepada pemerintah, yang kemudian diteruskan ke Komisi Keamanan hayati Produk Rekayasa genetik.

Oleh komisi, permohonan diteruskan ke Kementerian Lingkungan Hidup bila berkaitan dengan permohonan uji penanaman. Bila terkait dengan konsumsi pangan, diteruskan ke tim teknis di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Adapun terkait dengan pakan, diteruskan ke tim teknis pakan di Kementerian Pertanian.

Agus mengatakan, Indonesia membuka diri terhadap masuknya produk rekayasa genetik sejak 2004. ”Dengan meratifikasi Protokol Kartagena. Meski begitu, Komisi Keamanan Hayati baru dibentuk 15 Juni 2010,” katanya.

Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengatakan, munculnya kebijakan terkait transgenik ini merupakan langkah maju karena selama ini tidak ada kejalasan aturan.

Dengan permentan itu, ada kepastian bagi peneliti. Mereka bisa meneliti karena tidak terbentur uji pertanaman dan bagi swasta yang mengembangkan juga ada solusinya.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, kebijakan Kemtan merupakan langkah keliru. ”Karena sama saja dengan meneruskan strategi pemerintah memperbesar peran perusahaan bisnis dalam urusan pangan,” katanya.

Pertanian yang dikembangkan bukan pertanian rakyat dan ekologis. Apalagi transgenik atau GMO terbukti meminggirkan pertanian rakyat dan lingkungan hidup. (MAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com