Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awasi Hutan secara Mandiri

Kompas.com - 17/10/2011, 03:27 WIB

Ichwan Susanto

Metode penghitungan karbon menjadi tren baru di tengah isu hangat perdagangan karbon hutan dan gambut yang dipercaya global mampu mengerem laju perubahan iklim. Penghitungan karbon sendiri masih pro-kontra dan belum ada metode pembayaran baku yang diakui bersama.

Pada pertemuan tahunan Governors’ Climate and Forests (GCF) Task Force di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, September lalu, perusahaan mesin pencari, Google, memaparkan penghitungan karbon yang sederhana, mudah dikontrol, dan dapat dilakukan masyarakat.

Hanya butuh seperangkat komputer dan ponsel android. Tak perlu komputer berspesifikasi/berkonfigurasi tinggi karena semua komputasi dilakukan di ”awan-awan” atau komputasi cloud pada ribuan komputer Google di Amerika Serikat (AS).

Fasilitas Google Earth yang memanfaatkan citra satelit penginderaan jauh, seperti Landsat, tak asing bagi para penjelajah muka bumi di dunia maya. Pihak Google siap memperbarui data tersebut dua kali sebulan.

Sajian itu diperkuat fasilitas Google Earth Engine yang menyediakan menu-menu dan aplikasi sederhana, mudah dimengerti, dan bisa dipadukan data-data dari bumi. Butuh data dari bumi karena Google Earth bukan mesin sempurna. Google hanya menyajikan potret permukaan bumi dari angkasa.

Untuk melengkapi kekurangan data di bawah vegetasi, pengguna perlu membuat formulir fusion tables lewat situs Google Earth Engine secara online menggunakan perangkat komputer. Untuk menghitung karbon, pengguna dapat mengisi nama kolom dengan nomor, lokasi (geografis), panjang dan lebar pohon, kondisi, dan lain-lain.

Selanjutnya, berkas ini di-export atau disimpan dalam format csv (sistem penyimpanan sederhana pada pusat data kabel komputer yang menyimpan berbagai karakter). Atau, pengguna membuat sendiri formulirnya melalui Microsoft Excel dengan format csv. Lalu, berkas itu dimasukkan ke ponsel android dan siap diisi keterangan kondisi di lapangan.

Jangan lupa, pada ponsel android dipasang aplikasi data terbuka (open data kit/ODK) yang bisa diunduh di Google. ODK berisi aplikasi yang bisa mencatat dan membuat tabel pendataan.

Di lapangan, tabel itu diisi dengan mengaktifkan fitur sistem penanda lokasi geografis (GPS). Pengambilan foto menggunakan ponsel sangat disarankan sebagai bukti di lapangan. Foto bisa dipakai lebih dari satu, misalnya selain mengambil gambar kondisi pohon, pengguna juga mungkin menjumpai fauna atau flora.

Di hutan, sering tak ada sinyal untuk mengirim berkas. Simpan berkas dan kirim saat terakses saluran data. Dengan berbagai pilihan kalkulasi, diameter dan tinggi pohon jadi data awal stok karbon areal yang diukur.

Rebecca Moore, pemimpin Google Earth, di sela-sela pertemuan GCF di Palangkaraya, mengatakan, sistem baru Google ini ”mempersenjatai orang biasa menjadi polisi hutan”. ”Kami tidak ahli di bidang lingkungan atau kehutanan. Kami hanya memberi sarana dan mengumpulkan data supaya setiap orang bisa mengakses. Kita jadi tahu yang terjadi di bumi,” ucapnya.

Di balik layar, Google Earth Engine mengumpulkan data-data survei dan riset itu, lalu memadukan dengan citra muka bumi satelit Landsat. Dengan berbagai data ini, Google Earth bukan lagi sekadar alat penunjuk lokasi, melainkan menuntut kita ke daerah terpencil.

Terobosan Google ini pernah diaplikasikan tahun 2008 pada pengukuran stok karbon di negara bagian Amazon di Brasil, tepatnya pada masyarakat tradisional Surui. Mereka diajarkan mengoperasikan ponsel android dan memasukkan data hutan yang dipakai saat berjalan di hutan. Hasilnya, karbon stok cepat terukur dan terawasi karena dilengkapi titik geografis dan dapat diakses banyak orang.

Tak sengaja

Rebecca mengatakan, Google Earth Engine yang dikembangkan dari prototipe Google Earth, berkembang tak sengaja saat ia memetakan pembalakan liar hutan redwood, dekat rumahnya di San Francisco, AS. Saat itu ia berusaha membuktikan bahwa perusahaan kayu berizin itu membohongi publik.

Ia, yang tak puas dengan peta yang disodorkan Santa Cruz dari Kementerian Kehutanan AS, menghubungi NASA. Ia meminta peta satelit areal operasi perusahaan itu. Dengan setumpuk kaset data yang dikirim seminggu kemudian, Rebecca mengembangkan Google Earth Engine, yang menjelaskan bagian terdeforestasi ditambah data dan foto lapangan yang ia kumpulkan. Gambar itu diperbarui sesuai pasokan gambar Landsat.

Dengan data itu, ia sukses membangkitkan kesadaran publik, pemerintah, dan media di Santa Cruz akan bahaya longsor, punahnya hewan langka, hilangnya pohon redwood berusia ratusan tahun, dan kekeringan.

Pihak perusahaan sempat menolak olahan data Rebecca yang disebut Google Earth Engine sebagai ”mainan”. ”Saya jawab, ’kamu boleh menyebut ini mainan, tapi data ini akurat’,” kata dia. Didukung publik dan mantan Wakil Presiden AS Al Gore, kampanye Google Earth Engine membuat Kementerian Kehutanan AS mencabut izin penebangan.

Manfaat terobosan itu diakui Grahat Nagara, Koordinator Silvagama, LSM bidang hukum lingkungan, peserta pelatihan Google Earth Engine. ”Dulu, untuk mengolah data satelit harus mengolah banyak lapisan dan membeli berbagai perangkat lunak pengolah peta yang sangat mahal. Sekarang, semua dikerjakan Google,” kata dia.

Teknologi ini sederhana. Silakan memanfaatkan dan berkreasi mengembangkan aplikasi di dalamnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com