Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indyo Pratomo: Mencintai Gunung Api

Kompas.com - 12/10/2011, 11:08 WIB
Ahmad Arif,
Amir Sodikin,
Indira Permanasari S

Tim Redaksi

Oleh Amir Sodikin, Indira permanasari & Ahmad Arif

KOMPAS - Di mata Indyo Pratomo, gunung api ibarat sosok yang hidup. Bebatuan dan rempah gunung api yang berserak di sekitar gunung bisa berkisah tentang sejarah petaka di masa lalu, sekaligus menyiratkan pesan tentang apa yang bisa disiapkan untuk menghadapi ancaman di masa mendatang.

Sebagai peneliti gunung api dari Museum Geologi, kaldera megah yang banyak terdapat di Indonesia merupakan favoritnya. Baginya, kaldera merupakan jejak nyata kedahsyatan letusan gunung api. Beberapa kaldera yang telah dijelajahinya adalah Tambora, Batur, Bromo, Krakatau, Maninjau, Toba, dan Tondano.

Beberapa hari mengikuti Ekspedisi Cincin Api Kompas di seputar Danau Toba (baca: Kaldera Toba), Indyo tak pernah mengeluh dengan perjalanan lapangan yang menguras tenaga. Begitu mengenakan pakaian lapangan, lengkap dengan palu geologi, Indyo yang berusia 58 tahun ini seolah memiliki semangat muda untuk mengelana, menyusuri tebing dan menuruni lembah.

Di seputar Toba, Indyo bersemangat merangkai mozaik-mozaik misteri timbulnya Gunung Toba hingga letusannya yang menjadi yang terdahsyat sepanjang zaman kuarter atau sekitar 2,5 juta tahun terakhir.

Berhari-hari dia asyik menjelaskan formasi batuan bahorok berusia 300 juta tahun yang terbongkar saat letusan Toba. Di hari lain, Indyo sibuk mengorek lapisan putih seperti batuan kapur yang ternyata fosil-fosil daun yang tertimbun endapan ganggang (diatomae) yang terangkat di Pulau Samosir.

Batuan-batuan, juga bentang alam di sekitar Toba, yang tadinya membisu, di tangan Indyo berubah menjadi dongeng mengasyikkan. Dengan lihai, dia mengisahkan bukti-bukti letusan gunung api raksasa (supervolcano) Toba sekitar 74.000 tahun silam berdasarkan bukti-bukti bebatuan dan bentang alam itu.

”Tidak seperti ketika saya berada di lingkaran sesama geolog, di lingkaran orang-orang awam, saya dituntut menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang mudah diterima. Dan itu ternyata tidak mudah,” kata Indyo.

Di Gunung Tambora, Indyo juga dikenal sebagai geolog yang dengan gamblang bisa berkisah bagaimana letusan Tambora tahun 1815 terjadi. Letusan itu menjadi letusan terdahsyat sepanjang sejarah modern manusia.

Pada 2006, Indyo mendampingi peneliti gunung api Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, yang menemukan ”Pompeii dari Timur” di dekat kebun kopi Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Bima, Nusa Tenggara Barat.

Indyo juga lihai menjelaskan Kaldera Batur di Bali karena dia termasuk orang yang antusias mengusulkan keunikan Kaldera Batur agar bisa diajukan menjadi taman bumi atau geopark dunia. Geopark adalah konsep mengelola sebuah kawasan berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan dari UNESCO.

Dari semua gunung api itu, Gunung Kelud merupakan ”anak emasnya”. Gunung di Jawa Timur ini menjadi ajang penelitian jenjang doktoral Indyo bersama vulkanolog Surono—sekarang Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Gunung Api—di Universitas Blaise Pascal, Clermont-Ferrand, Perancis, tahun 1990-an.

Ketika penelitian itu berlangsung, Gunung Kelud meletus, membuat penelitian keduanya semakin seksi dan dicari. ”Saya meneliti Kelud untuk disertasi antara 1989 dan 1992. Tahun 1990 Gunung Kelud meletus, dari situlah ilmu saya langsung bernilai,” kata Indyo.

Semangat meneliti

Dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang langka soal gunung api, Indyo kini bermuara di Museum Geologi menjelang akhir kariernya sebagai pegawai negeri. Berada di lingkungan Museum Geologi, yang selama ini dipersepsikan ”kuno”, justru membuat Indyo lebih leluasa mengomunikasikan ilmunya kepada masyarakat awam.

”Di museum harus memiliki modal untuk menjelaskan kepada masyarakat umum apa yang terjadi di tiap kaldera gunung api,” katanya.

Walaupun menguasai ilmu geodinamika, petrokimia, gas, bahkan panas bumi, Indyo merasa jatuh cinta dengan gunung api. Dia tak tertarik terjun ke dunia pertambangan atau perminyakan, yang menarik sebagian besar geolog Indonesia.

”Dulu saya mendalami geologi di akademi hanya sepotong-sepotong. Begitu ke Belgia, saya tahu luasan jangkauan geologi itu sangat luas. Hingga akhirnya ke Perancis untuk lebih memperdalam ilmu tentang gunung api,” kata Indyo.

Walau Indyo sudah keliling ke banyak gunung untuk mempelajari karakteristiknya, hal itu justru membuat ia merasa pengetahuannya terbatas. ”Hanya sedikit yang saya ketahui. Dari 129 gunung aktif saja, saya baru meneliti intensif 10-15 gunung api,” ujar Indyo.

Ia cukup beruntung karena bisa memperdalam vulkanologi dan geologi di luar negeri. Namun, keresahan kini menghinggapinya karena Indonesia hingga kini belum memiliki sekolah khusus tentang gunung api. ”Justru yang akan membangun kampusnya adalah Singapura. Ini ironi di negeri cincin api,” kata Indyo.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com