Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Jejak Nenek Moyang Kita

Kompas.com - 12/10/2011, 04:19 WIB
AGNES ARISTIARINI

KOMPAS - Nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Gunung Toba di Sumatera. Mungkinkah kedua peristiwa ini saling memengaruhi?

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun itu hanya bisa dibuktikan lewat jejak peninggalan mereka. Ironisnya, semua bukti tampaknya terkubur material yang dimuntahkan Gunung Toba.

Paling tidak begitulah kesimpulan Craig Chesner, geolog dari Eastern Illinois University. Letusan terakhir Toba menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur. Ketebalan material rata-rata 100 meter dan di beberapa area bahkan mencapai 400 meter.

Sebagai bandingan, jejak arkeologi yang terkubur letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (1815), ditemukan pada kedalaman 3 meter di bawah lapisan piroklastik, batuan apung, abu, dan tanah lempung. Berdasarkan Volcanic Explosivity Index, kekuatan letusan Tambora adalah pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba ribuan tahun sebelumnya.

Untunglah ilmu pengetahuan terus berkembang. Kini, upaya memahami asal-usul manusia modern bisa dilakukan dengan membaca urutan sekuen DNA (deoxyribonucleic acid) atau rantai panjang polimer nukleotida yang mengandung informasi genetik untuk diturunkan.

Selain informasi genetik, DNA juga bisa menginformasikan riwayat kehidupan nenek moyang kita. Di sinilah perubahan dalam tubuh terekam—seiring dengan perubahan pola makan, lingkungan, ataupun aktivitasnya—dan memberikan gambaran bagaimana sebenarnya pola kehidupan yang mereka jalani. Hasil perbandingannya dengan DNA populasi di berbagai tempat lain menggambarkan proses berlangsungnya migrasi dan bagaimana hubungan kekerabatannya.

”Keragaman genetik manusia adalah arsip evolusi manusia selama ribuan tahun yang dapat dieksplorasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof dr Sangkot Marzuki, MSc, PhD, DSc, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Maka, ketika digagas studi besar untuk memetakan genetik populasi bangsa Asia tahun 2004, Lembaga Eijkman antusias ikut serta. Dalam penelitian yang berlangsung lima tahun, 93 peneliti dari 40 institusi bergabung dalam penelitian ini. Mereka berasal dari Jepang, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, China, Nepal, India, dan tentu saja Indonesia.

Disebut Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide Polymorphism), tujuan proyek memang untuk memahami asal-usul keragaman genetik di Asia. Di bawah payung Human Genome Organisation, studi meneliti DNA pada 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan sekitar 2.000 sampel darah untuk mendapatkan 50.000 marka (titik data) per sampel.

Marka tersebut adalah single nucleotide polymorphisms (SNPs), suatu tempat pada kromosom yang membedakan individu satu dengan lainnya. Jumlah variasinya, disebut haplotype, mengindikasikan kedekatan dua individu secara genetik. Maka, distribusi haplotype secara geografis akan menunjukkan jejak migrasi, termasuk yang berlangsung pada zaman prasejarah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com