Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Berhenti di Kebun Kopi

Kompas.com - 16/09/2011, 13:37 WIB

Oleh Amir Sodikin dan Khaerul Anwar

KOMPAS - Hari itu mestinya menjadi hari istimewa dan dinanti-nantikan para pekerja kebun kopi Pemerintah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, di lereng Tambora karena musim panen perdana atau petik pilihan telah tiba. Namun, suasana terasa muram. Tak ada semangat yang terlihat dari pekerja untuk memetik kopi di perkebunan yang dirintis sejak 1930-an itu.

”Kita patut prihatin, panen kopi kali ini turun drastis,” kata Suparno, kepala perkebunan, di depan para pekerja. Tahun 2010, produksi kopi dari lahan sekitar 146 hektar masih mencapai 30 ton. ”Tahun ini diperkirakan hanya 15 ton,” ujarnya. Kendalanya, selain hujan terus, juga karena kurang perawatan.

Tak hanya hasil yang buruk, pencurian kopi juga merajalela. Lahan perkebunan seluas itu hanya ditangani oleh 47 pekerja yang kehilangan semangat. ”Kami hanya bekerja sesuai dengan gaji yang kami terima. Gaji tak menutupi kebutuhan sehari-hari. Jadi, buat apa bekerja total jika tak bisa makan juga?” keluh seorang pekerja.

Gaji karyawan yang hanya Rp 250.000 per bulan menjadi alasan utama kebun kopi milik negara yang dikelola pemerintah daerah tersebut dibiarkan tak terawat. Selain itu, para pekerja perkebunan ini lebih memprioritaskan kebun mereka dibandingkan dengan lahan milik perkebunan.

Kontras dengan perkebunan kopi milik negara yang tak terawat baik, kebun pribadi warga terlihat lebih subur. Rendahnya produksi kopi di perkebunan negara memang bukan karena kurang suburnya lahan, melainkan karena buruknya pengelolaan.

Sebelum letusan

Jejak kopi di kawasan ini sangat tua dan telah dibudidayakan sebelum letusan pada tahun 1815. Pada periode itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan tiga kerajaan di sana, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Kopi menjadi komoditas penting.

Dokumen yang menyebutkan perdagangan kopi tersebut adalah catatan Kerajaan Bima atau Bo’ Sangaji Kai, yang dikompilasi Siti Maryam R Salahuddin bersama Henri Chambert-Loir. Disebutkan, telah ada perjanjian damai dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda, yang dilakukan di Makassar, 18 April 1701.

Temuan biji kopi, yang terarangkan karena terkubur awan panas, di kawasan yang diperkirakan pernah menjadi lokasi Kerajaan Tambora semakin menguatkan catatan sejarah itu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com