Prinsip arsitektur yang sama ditemukan di Batak, Karo, Toraja, Aceh, Minangkabau, Kampung Naga (Jawa Barat), dan joglo di Yogyakarta. Namun, strategi adaptasi nenek moyang selama ribuan tahun kini semakin ditinggalkan, tanpa upaya memperbaruinya dengan pengetahuan baru yang berpijak pada siasat bijak berdamping bencana.
Di Pulau Simeulue, Aceh, masyarakat tradisional mengembangkan budaya
Smong merupakan kata-kata ajaib yang menyelamatkan warga Simeulue saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Waktu itu, ”hanya” tujuh orang di Simeulue yang meninggal akibat tsunami dibandingkan dengan ribuan rumah yang tersapu gelombang ini. Warga di sana telah meninggalkan rumah sebelum tsunami tiba.
Smong, yang dalam bahasa lokal berarti ombak besar ke pantai, seperti kata-kata yang ajaib. Begitu mendengar kata smong, warga Simeulue akan berlari ke luar menuju satu titik: perbukitan. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan kolektif mereka terhadap bencana tsunami yang melanda pulau ini pada 1907, bahkan mungkin lebih lama lagi.
Di Pulau Mentawai, masyarakat setempat mengembangkan pola hidup menjauh dari laut yang kerap mengirim tsunami. Walaupun mereka tinggal di kepulauan, pusat orientasi budaya mereka adalah hutan di pedalaman pulau. Selama ribuan tahun, mereka seperti sengaja menjauh dari laut dan baru pindah ke daratan setelah para migran dan Orde Baru membangun kota baru di pesisir sejak tahun 1970-an.
Tata ruang dan pembangunan baru yang berorientasi pada pertumbuhan dan alasan politik praktis telah mengabaikan kearifan lama ataupun strategi teranyar untuk menghadapi bencana gempa, gunung berapi, dan tsunami.
Ekspedisi Cincin Api