Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup-Mati di Negeri Cincin Api

Kompas.com - 14/09/2011, 05:27 WIB

Harmoni

Akan tetapi, gunung berapi bukan hanya berarti bencana dan kengerian semata. Gunung Merapi memberikan pelajaran. Sebanyak 32 warga Kinahrejo (Sleman), termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, yang menolak diungsikan ditemukan tewas setelah erupsi pada Selasa, 26 Oktober 2010.

Bagi Mbah Maridjan dan puluhan warga Kinahrejo yang percaya kepadanya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya mau enaknya, tetapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” kata Maridjan sesaat sebelum kematiannya.

Merapi bukan sekadar gunung berapi yang berbahaya karena tingkat keaktifannya. Memahami Merapi tidak cukup dengan menelisik wujud fisiknya, menghitung tremor yang diakibatkan, mewaspadai wedhus gembel dan aliran lahar saja. Namun, tak kalah penting adalah memahami masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitarnya. Ada kebudayaan dan kepercayaan yang tumbuh berimpit di sana.

Seperti Merapi, gunung berapi di Nusantara terletak di pusat kepercayaan mistis dan spiritual, menjerat jutaan orang dan memengaruhi kebudayaan mereka.

Apalagi, di balik kehancuran yang diakibatkannya, gunung berapi menyimpan berkah yang menghidupi. Debu akibat letusannya menyuburkan tanah, seperti hingga membuat Multatuli (1960) yang terpesona memopulerkan istilah ”...untaian zamrud yang berjajar sepanjang khatulistiwa”. Petani di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara bisa memanen padi hingga tiga kali setiap tahun, berkah yang tak bisa dilakukan di belahan Bumi lain.

Kini, masyarakat modern menemukan berkah lain dari gunung berapi, yaitu sumber energi tenaga panas bumi. Indonesia menjadi rumah bagi sebagian besar energi bersih ini di Bumi, yaitu sekitar 27,6 GWe dan yang dimanfaatkan baru 4 persen. Selain juga, kekayaan jenis dan sebaran mineral yang terendapkan dari proses geologi ekstrem ini.

Bagaimanapun kita telah menjadi bagian dari alam. Dengan demikian, hidup berdampingan dan selaras alam adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bencana ataupun nikmat dari alam adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama sehingga harus disikapi berbarengan.

Nenek moyang kita telah membangun strategi adaptasi terhadap alam, khususnya terkait dengan gempa. Semua rumah tradisional Indonesia dari Aceh hingga Papua dibangun aman gempa. Misalnya, rumah tradisional Nias yang dibangun dari tiang (enomo) dan balok menyilang (ndriwa) saling kait. Tiang tidak ditanam dalam tanah, tetapi ditumpukkan di atas batu sehingga bersifat dinamis menghadapi gaya geser gempa.

Di antara tiang utama terdapat kolom diagonal yang saling kait menyokong lantai rumah. Semua sambungan kayu menggunakan teknik pasak, mencipta balok kayu dinamis dan tidak patah ketika terjadi gempa. Sebagai bukti, digoyang beberapa kali gempa besar selama ratusan tahun, rumah adat Nias di Bawomatoluo, Hilisimaetano, Sihare’o Siwahili, dan Gomo masih tegak berdiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com