Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pneumonia Ancaman Terbesar Bayi

Kompas.com - 04/08/2011, 11:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Pneumonia saat ini masih menjadi ancaman utama bagi bayi dan balita di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2003 menunjukkan, pneumonia tercatat menempati peringkat pertama penyebab kematian utama pada balita, lebih tinggi dibandingkan AIDS, Diare, TB, Malaria, dan Campak.

Menurut dr. Soedjatmiko, Sp AK (Msi), Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pneumonia memang rentan diderita bayi atau balita, karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. Penyakit ini disebabkan bakteri pneumokokus yang umumnya terdapat di tenggorokan dan rongga hidung dewasa, anak dan bayi sehat.

"Bakteri ini mudah sekali menular melalui percikan ludah ketika batuk, bersin. Dan kalau muncrat ke bayi atau balita, yang kekebalannya masih rendah akan rentan sakit pneumonia dan meningitis," katanya saat acara Journalist Class, dengan tema “Kesehatan Fisik dan Mental Anak Sebagai Investasi Tak Ternilai Bagi Bangsa”, Rabu, (3/8/2011) di Jakarta.

Bakteri pneumokokus kurang lebih ada 90 tipe, dan 11 tipe di antaranya bersifat ganas. Soedjatmiko mengatakan, pada tahun 2006 di Bandung sudah pernah dilakukan pengamatan terhadap bayi baru lahir sampai umur 2 bulan untuk mengetahui keberadaan bakteri pneumokokus di hidung dan tenggorokan.

"Diketahui bahwa pada bayi umur satu hari ada 1 yang positif, dua minggu 3 bayi positif.  Sampai umur 2 bulan, hampir 40 persen bayi pada umur 2 bulan tertular bakteri pneumokokus,” katanya.

Sementara itu, penelitian di Mataram NTB (1997) juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dari total 484 bayi sehat umur 0-25 bulan yang diperiksa tenggorokannya, sebanyak 221 bayi (48 persen) ditemukan bakteri pneumokokus di tenggorokannya.

Soedjatmiko mengatakan, bahaya pneumokokus pada bayi atau balita dapat menimbulkan penyakit berat seperti pneumonia (radang paru), sepsis bakteremia (bakteri dalam darah) dan meningitis (radang otak). Risiko bayi tertular pneumokokus umumnya disebabkan karena buruknya gizi dan lingkungan sekitar.

“Kalau bayi itu mendapat ASI ekskulisf, lingkungan bersih, tidak kena paparan asap rokok, Insya Allah bayi-bayi tersebut selamat. Tapi kalau lingkungan buruk, bayi-bayi itu akan menderita pneumonia dan meningitis,” paparnya.

WHO sendiri dalam hal ini telah  mencanangakan suatu kegiatan yang dinamakan, Global Action Plan Pneumonia (GAPP) Prevention and Control. Kegiatan tersebut ditujukan khususnya kepada negara-negara dengan kematian karena pneumonia yang tinggi.

Menurut Soedjatmiko, WHO menganjurkan pada negara-negara dengan kematian yang tinggi, agar melakukan upaya pencegahan dengan pemberian vaksin pneumokokus (PCV 7 dan PCV 13). Pemberian obat-obatan seperti antibiotik menurutnya sudah tidak mempan lagi. Hal ini bukan saja terjadi di Indonesia saja, tetapi juga pada negara-negara lainnya.

“Dinegara-negara maju seperti Hongkong, Singapura, Australia, Kanada, bakterinya sudah kebal terhadap antibiotik. Sehingga risiko kematian sangat tinggi,” terangnya.

Sebagai upaya pencegahan Soedjatmiko menganjurkan supaya bayi selalu diberikan nutrisi yang cukup meliputi ASI, Vitamin A, Zinc, makanan lengkap dan seimbang. Selain itu, upayakan selalu perilaku hidup sehat, dengan selalu tutup mulut atau hidung ketika batuk, hindari mencium bayi dengan mulut, dan hindari asap rokok. Dan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah dengan pemberian imunisasi rutin (BCG, DTP , Campak, Hib, Influenza) dan vaksin khusus pneumokokus (PCV 7, PCV 13).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com