Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kandang" Ironi di Ujung Kulon

Kompas.com - 28/07/2011, 04:38 WIB

ICHWAN SUSANTO

Pembuatan Javan Rhino Study and Conservation Area untuk pengamatan badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon di Kabupaten Pandeglang, Banten, menuai kontroversi. Niat baik penyelamatan satwa sangat langka yang jumlahnya turun sejak tiga dekade ini diprotes.

Pembuatan Javan Rhino Sanctuary (JRS), yang kini berganti nama jadi Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), dinilai banyak pihak terlalu ekstrem dan cenderung merusak ekologi hutan.

Dalam pengerjaannya, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dibelah sehingga memisahkan hutan konservasi tersebut menjadi tiga bagian, yakni Gunung Honje, JRSCA, dan Semenanjung Ujung Kulon.

Eksekusi proyek itu terkesan terburu-buru karena pembuldoseran kawasan lindung dilakukan tanpa mengantongi izin Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan Koalisi Penyelamat Konservasi (KPK) Ujung Kulon mempermasalahkan pembangunan JRS secara hukum ke Mabes Polri.

Selain itu, kegiatan di dalam hutan konservasi hanya berlindung di balik analisis risiko lingkungan (ERA) awal, bukan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) seperti yang diwajibkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam setiap pembangunan di kawasan lindung.

Terlebih lagi, ERA belum menyetujui proyek itu. Salah satu rekomendasi ERA adalah dilakukan studi kelayakan.

Para pakar dalam ERA yang diketuai U Mamat Rahmat menilai, pemagaran permanen bakal menghalangi migrasi dan lalu-lalang fauna. Kebiasaan satwa liar untuk bebas mencari makan terhalang pagar.

Bukan hanya badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang terjebak, berbagai satwa endemis, seperti owa jawa (Hylobates moloch), lutung (Trachypithecus auratus), dan macan tutul (Panthera pardus) tak bisa menembus pagar berlistrik. Jika hal ini terjadi, JRSCA telah mengganggu kenyamanan hidup peng- huni hutan. Yang lebih dikhawatirkan para pakar, aneka satwa yang kelaparan nantinya turun ke permukiman dan menciptakan konflik antara manusia dan satwa.

Segera diselamatkan

Yayasan Badak Indonesia (Yabi) yang mendapat dana senilai Rp 6 miliar dari International Rhino Foundation (IRF) untuk mengerjakan JRSCA, berdalih badak jawa harus diselamatkan sesegera mungkin. Ini didasarkan dari pengamatan kamera Balai TNUK di Semenanjung Ujung Kulon yang hanya mendapatkan 19 ekor badak dan hanya tiga di antaranya betina.

Kekhawatiran lain, di tahun 2010 ditemukan tiga pejantan muda badak jawa mati. Kematian dua badak bukan karena perburuan karena cula ditemukan utuh. Kematian satu badak lain belum dipastikan penyebabnya karena tulang-belulangnya ditemukan tidak lengkap.

Ada dugaan, kematian pejantan muda ini akibat bertarung memperebutkan badak betina. Analisa lain, badak jawa itu mati karena penyakit.

Pengalaman pahit Malaysia (2003) yang kehilangan lima ekor alias semua badak sumatera karena penyakit tripanosoma (parasit darah), turut menghantui pemerhati badak. Penyakit yang ditularkan lalat pengisap darah ternak sapi dan kerbau tersebut bisa terjadi pada badak jawa.

Alasan lain, badak kalah dalam memperebutkan makanan dengan banteng jawa (Bos javanicus) yang jumlahnya mencapai 600 ekor. Ini ditambah penyebaran langkap (palem-paleman) serta suksesi hutan dari sekunder menjadi primer.

Badak jawa yang bertipe browser (memakan pucuk daun), tidak seperti badak india/afrika yang mengonsumsi rumput, kesulitan meraih dedaunan di ranting yang tinggi. Berangkat dari kekhawatiran ini, JRSCA disusun dengan meniru Sumatera Rhino Sanctuary (SRS) di Way Kambas, Lampung.

Meski meniru, JRSCA berukuran jauh lebih besar, yakni 3.000-4.000 hektar. Ini demi memenuhi areal kekuasaan seekor badak yang mencapai lebih dari 100 hektar. Langkap di ”kandang” diganti dengan tanaman pakan baru. Mereka berharap bisa meneliti dan menemukan solusi peningkatan kemampuan reproduksinya.

WWF Indonesia yang sejak 1962 bekerja di TNUK, mengusulkan luas JRSCA hanya dalam skala ratusan hektar di bagian selatan TNUK, tanpa membagi kesatuan lansekap Ujung Kulon. Dengan demikian, pembuatan JRSCA tidak terlalu mengganggu lalu lintas fauna.

Yang tak boleh dilupakan, pembangunan JRSCA sebaiknya dilakukan ketika lokasi habitat kedua telah siap. Padahal, lokasi itu kini belum ditemukan. Ini agar badak JRSCA tak telanjur jinak saat dilepasliarkan di tempat baru.

Habitat kedua sebagai lokasi baru atau cadangan tempat hidup badak jawa juga merupakan upaya mengantisipasi serangan penyakit pada badak.

Penyelamatan badak jawa selayaknya menjadi prioritas konservasi di Indonesia. Namun, jangan karena terburu-buru, mumpung mendapatkan bantuan asing, kita menabrak semua kaidah ekologi, prosedur hukum, dan sosial masyarakat. Dengan cara yang benar, baik, dan arif, mari bergandeng tangan menyelamatkan badak jawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau