Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemetaan Genetika Lemah

Kompas.com - 02/07/2011, 03:12 WIB

Jakarta, Kompas - Pemetaan genetika terkait senyawa aktif komersial dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia masih lemah. Tuntutan pembagian manfaat atas komersialisasi dari negara-negara maju sulit dilakukan tanpa inventarisasi genetika secara memadai.

”Kalau tidak tahu genetika dan prospeknya, bagaimana bisa meminta pembagian manfaat dari negara lain yang memanfaatkan secara komersial kekayaan keanekaragaman hayati kita,” kata peneliti senior Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedy Darnaedi, Jumat (1/7), di Jakarta.

Menurut Dedy, pemerintah belum memerhatikan investasi yang mengeksplorasi potensi genetika dan biokimia (bioprospecting) yang bernilai komersial.

Dedy mencontohkan Universitas Gadjah Mada yang berhasil memetakan salah satu senyawa aktif dari kunyit dan temulawak, yaitu Pentagamavunon-0 (PGV-0), yang bernilai komersial untuk obat antikanker. Keberhasilan seperti itu tidak diikuti untuk prospek-prospek komersial dari keanekaragaman hayati lainnya.

Secara terpisah, Kepala Laboratorium Rekayasa Bioproses pada Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Khaswar Syamsu, mengatakan, tidak ada keseriusan pemerintah menunjang proses pemetaan genetika dan biokimia yang bernilai komersial.

”Persoalan bukan terletak pada sumber daya manusianya, tetapi alokasi dana penelitian yang terlampau minim,” kata Khaswar.

Meskipun dengan dana penelitian yang sedikit ditunjang pemerintah, menurut Khaswar, tugas penelitian genetika dan biokimia tetap berjalan di lembaga-lembaga riset yang ada.

Khaswar saat ini membimbing mahasiswanya untuk memetakan genetika mikroba yang bersimbiosis pada tanaman obat tertentu.

”Sekarang memasuki proses pendaftaran paten terhadap jenis mikroba yang dieksplorasi dari jenis tanaman obat tersebut. Jenis mikroba ini memiliki prospek untuk antibiotika yang baru,” katanya.

Kekayaan terakhir

Dedy menyebutkan, sumber genetika dan biokimia pada keanekaragaman hayati menjadi sumber kekayaan terakhir. Saat ini, kerusakan lingkungan mengakibatkan sumber kekayaan bangsa berupa tambang, perikanan, pertanian, dan perkebunan semakin merosot.

”Kekayaan bioprospecting belum sepenuhnya disadari pemerintah,” katanya.

Dedy mengilustrasikan, tanaman yang dimakan monyet barangkali berpeluang memiliki senyawa aktif yang dapat dikomersialisasikan untuk obat anti-HIV/AIDS karena penyakit ini mulanya timbul pada monyet. Namun, tidak ada dukungan yang optimal dari pemerintah untuk mengeksplorasi berbagai manfaat keanekaragaman hayati tersebut.

”Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) mengisyaratkan pembagian keuntungan secara adil bagi segala usaha yang memanfaatkan keanekaragaman hayati dari negara lain. Hal ini bisa menjadi benteng terakhir ekonomi kita,” kata Dedy.

Di dunia, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati nomor dua. (NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau