”Kalau tidak tahu genetika dan prospeknya, bagaimana bisa meminta pembagian manfaat dari negara lain yang memanfaatkan secara komersial kekayaan keanekaragaman hayati kita,” kata peneliti senior Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedy Darnaedi, Jumat (1/7), di Jakarta.
Menurut Dedy, pemerintah belum memerhatikan investasi yang mengeksplorasi potensi genetika dan biokimia (bioprospecting) yang bernilai komersial.
Dedy mencontohkan Universitas Gadjah Mada yang berhasil memetakan salah satu senyawa aktif dari kunyit dan temulawak, yaitu Pentagamavunon-0 (PGV-0), yang bernilai komersial untuk obat antikanker. Keberhasilan seperti itu tidak diikuti untuk prospek-prospek komersial dari keanekaragaman hayati lainnya.
Secara terpisah, Kepala Laboratorium Rekayasa Bioproses pada Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Khaswar Syamsu, mengatakan, tidak ada keseriusan pemerintah menunjang proses pemetaan genetika dan biokimia yang bernilai komersial.
”Persoalan bukan terletak pada sumber daya manusianya, tetapi alokasi dana penelitian yang terlampau minim,” kata Khaswar.
Meskipun dengan dana penelitian yang sedikit ditunjang pemerintah, menurut Khaswar, tugas penelitian genetika dan biokimia tetap berjalan di lembaga-lembaga riset yang ada.
Khaswar saat ini membimbing mahasiswanya untuk memetakan genetika mikroba yang bersimbiosis pada tanaman obat tertentu.
”Sekarang memasuki proses pendaftaran paten terhadap jenis mikroba yang dieksplorasi dari jenis tanaman obat tersebut. Jenis mikroba ini memiliki prospek untuk antibiotika yang baru,” katanya.
Dedy menyebutkan, sumber genetika dan biokimia pada keanekaragaman hayati menjadi sumber kekayaan terakhir. Saat ini, kerusakan lingkungan mengakibatkan sumber kekayaan bangsa berupa tambang, perikanan, pertanian, dan perkebunan semakin merosot.
”Kekayaan bioprospecting belum sepenuhnya disadari pemerintah,” katanya.
Dedy mengilustrasikan, tanaman yang dimakan monyet barangkali berpeluang memiliki senyawa aktif yang dapat dikomersialisasikan untuk obat anti-HIV/AIDS karena penyakit ini mulanya timbul pada monyet. Namun, tidak ada dukungan yang optimal dari pemerintah untuk mengeksplorasi berbagai manfaat keanekaragaman hayati tersebut.
”Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) mengisyaratkan pembagian keuntungan secara adil bagi segala usaha yang memanfaatkan keanekaragaman hayati dari negara lain. Hal ini bisa menjadi benteng terakhir ekonomi kita,” kata Dedy.
Di dunia, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati nomor dua.