Bali, Kompas -
”Ini kemajuan besar,” kata Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial dan Budaya, Kementerian Luar Negeri, Bebeb AKN Djundjunan, pada Pertemuan Sesi Kedua Negara-negara Sepaham tentang Perlindungan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional, Kamis (30/6), di Bali. Sejak Senin lalu, banyak pihak meragukan bisa tercapai. Draf perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional lebih dulu ada.
Hukum yang melindungi sumber daya genetika itu ditentang, terutama negara maju yang keberatan berbagi keuntungan dengan negara pemilik sumber daya. Sumber daya genetika meliputi semua bahan genetik (hewan, tumbuhan, jasad renik) yang bernilai dan berpotensi besar, termasuk ekonomi.
Menurut Bebeb, perdagangan global dari sumber daya genetika mencapai 800 miliar dollar AS per tahun. Belum diketahui keuntungan yang seharusnya dimiliki Indonesia—negara dengan kekayaan sumber daya genetika terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Sementara, negara lain dengan mudah memanfaatkannya tanpa hukum internasional yang mengaturnya.
Draf perlindungan sumber daya genetika pada pokoknya mencakup pengaturan keuntungan dari pemanfaatan, lingkup perlindungan, dan hak pemilik sumber daya genetika.
”Ini penting bagi Indonesia, tetapi kurang diperhatikan,” kata Bebeb.
Wakil Tetap RI untuk PBB di Geneva, Dian Triansyah Djani, mengatakan, ketiga draf itu masih perlu proses panjang untuk menjadi hukum internasional. ”Harus mendapat persetujuan banyak negara. Itu butuh proses diplomasi panjang,” katanya.
Dari 60 negara sepaham dalam forum Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia, hanya 19 negara yang hadir di Bali.
Di dalam negeri, Kementerian Lingkungan Hidup sedang mengumpulkan data keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional dari berbagai instansi. Integrasi data itu diharapkan selesai akhir 2012 agar menjadi modal menyongsong penerapan Protokol Nagoya.