Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Hijau demi Bumi Lestari

Kompas.com - 05/06/2011, 04:15 WIB

Nature provides a free lunch, but only if we control our appetites (Alam menyediakan segala kebutuhan

secara gratis asal kita bisa mengontrol nafsu kita).

William Ruckelshaus, Direktur Environmental Protection Agency, AS, dalam ”Business Week”, 18 Juni 1990

Ungkapan Ruckelshaus adalah manifestasi kesadaran bahwa manusia merusak lingkungan. Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan. Lahirlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992.

 

Saat itu yang sangat terasa adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya jutaan spesies keanekaan hayati sebagai dampak lanjutannya.

Hampir 20 tahun lalu penduduk dunia telah meningkat tiga kali lipat dari awal abad ke-20. Saat itu, produk domestik bruto dunia meningkat 21 kali, konsumsi bahan bakar fosil meningkat 30 kali, dan produksi industri meningkat 50 kali. Tetapi, terjadi ketidakmerataan karena rata-rata pendapatan satu miliar penduduk negara kaya 20 kali lebih tinggi dari lebih tiga miliar penduduk negara miskin kala itu.

Di antara penduduk negara miskin itu 450 juta di antaranya menghuni daerah pertanian yang tidak subur, 450 juta menghuni daerah bencana yang rawan longsor, banjir, dan degradasi lahan, sementara 100 juta lagi menghuni daerah-daerah kumuh.

Kesimpulannya, pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan.

 

Maka KTT Bumi melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu model pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan sosial dan lingkungan. Namun, komitmen bersama lebih dari 180 negara dalam KTT Bumi itu tak berjalan sesuai harapan.

 

Banyak negara lebih memilih melaksanakan perjanjian liberalisasi ekonomi meski melanggar kesepakatan Rio. Persoalan ini berpangkal pada paradigma pembangunan berkelanjutan yang tidak tegas mekanisme pelaksanaannya. Globalisasi menjadi menarik karena memiliki sistem penyelesaian sengketa, lengkap dengan sanksi dan retaliasi.

 

Terjadilah perusakan lingkungan yang berkelanjutan. Tidak mengherankan bila yang muncul adalah laporan suram dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurut laporan itu, iklim global telah berubah. Dampaknya tidak hanya perubahan musim, tetapi juga bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor.

Laporan Global Humanitarian Forum 2009 menyebutkan, bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman terbesar manusia ke depan dan perubahan iklim adalah penyebabnya.

Ekonomi hijau

Dalam kondisi inilah paradigma ekonomi hijau muncul. Sebagai manifestasi konsep pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau mengikat pembangunan agar berbasis efisiensi penggunaan sumber daya, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dengan internalisasi biaya lingkungan dan sosial. Suatu paradigma yang merevolusi proses pembangunan sekaligus menuntut perubahan gaya hidup.

Untuk mendalaminya, buku Ekonomi Hijau bisa dipertimbangkan. Buku ini ditulis Prof Surna Tjahja Djajadiningrat, PhD, Guru Besar Manajemen Lingkungan di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Proper (Program Pemeringkatan Lingkungan). Sebelumnya, ia pernah di Kementerian Lingkungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Penulis kedua adalah Dr Yeni Hendriani yang mengajar di Diklat Pendidikan Lingkungan Hidup, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sedangkan penulis ketiga adalah Melia Famiola MT, pengajar di Institut Teknologi Bandung.

Pendekatan buku ini tidak biasa karena tidak langsung membahas tentang ekonomi hijau. Uraian justru diawali dengan bab tentang paradigma yang mengabaikan keberlangsungan lingkungan, diikuti internalisasi lingkungan dalam kebijakan ekonomi, fungsi dan jasa ekosistem, nilai ekonomi sumber daya alam, dan seterusnya. Uraian ekonomi hijau sebagai paradigma baru ekonomi, baru muncul di bab 12.

Bab 12 juga mengingatkan bahwa implementasi prinsip ekonomi hijau membutuhkan kreativitas, pengetahuan, dan kesertaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu perancangan proses ekonomi baru—dengan pedoman sepuluh prinsip ekonomi hijau—yang memungkinkan penegakan prinsip ekologi berjalan seiring dengan transformasi sosial dan kehidupan ekonomi.

Semudah itukah? Tentu saja tidak. Seperti disebut di atas, bab-bab sebelumnya telah menyebutkan rangkaian persyaratan untuk mencapai masyarakat yang bisa memenuhi kebutuhan tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang.

Ekonomi, misalnya, diketahui terkait dengan kuantitas, kompetisi, dan perluasan, sementara ekologi berkait dengan kualitas kerja sama dan konservasi. Alam adalah suatu siklus, sedangkan sistem industri berlangsung linier (halaman 121).

Maka kuncinya adalah bagaimana membuat umat manusia ”melek ekologi” untuk mengubah pola ekonomi yang linier menjadi siklus. Dengan demikian bahan dasar, proses, produk, dan limbah bisa diefektif-efisienkan agar berkelanjutan. Dalam hal ini industri yang menjadi biang keladi permasalahan lingkungan, juga menjadi solusinya.

Secara keseluruhan, buku ini memang mengajak pembaca untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Kita akan digiring bab demi bab, sampai akhirnya bisa menyimpulkan sendiri apa sebenarnya ekonomi hijau. Oleh karena itu, meski cukup komprehensif buku ini sebaiknya dibaca oleh mereka yang paling tidak sudah punya dasar pemahaman tentang ekonomi. Seorang pemula mungkin akan kesulitan mendefinisikannya karena memang tidak ada definisi ekonomi hijau yang eksplisit. (nes)

 

• Judul: Ekonomi Hijau (Green Economy) • Penulis: Surna Tjahja Djajadiningrat, Yeni Hendriati, Melia Famiola • Penerbit: Rekayasa Sains, Bandung • Cetakan: Pertama, Mei 2011 • Tebal: 250 halaman • ISBN: 978-979-3784-50-2.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com