Jakarta, Kompas
Hal itu terungkap dalam disertasi Yurnadi guna meraih gelar doktor dalam Ilmu Biomedik yang berjudul ”Hubungan Polimorfisme Gen PIGR dan TCR-Beta dengan Kerentanan Individu untuk Terjadinya Karsinoma Nasofaring: Relevansinya dengan Eksistensi DNA EBV (Epstein-Barr Virus) sebagai Pemantau Respons Terapi”.
Disertasi itu dipertahankan di depan dewan penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nilai A, Rabu (1/6) di Jakarta.
Penelitian Yurnadi melibatkan 102 pasien kanker nasofaring di Departemen Radioterapi dan Departemen Ilmu Penyakit THT-KL FKUI/RSCM.
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit multifaktorial terutama disebabkan faktor genetik, infeksi virus, dan faktor lingkungan lain, seperti makanan, jelaga, dan debu. KNF sulit dideteksi karena letaknya di belakang tabir langit-langit.
Infeksi EBV merupakan salah satu faktor risiko. Virion (partikel virus) EBV tidak ditemukan pada semua sel nasofaring normal, tetapi genom EBV dapat ditemukan pada semua sel KNF. Yurnadi menyatakan, dalam penelitian, penghitungan secara berkelompok didapatkan penurunan keberadaan DNA EBV dalam ludah penderita sebesar 64 persen. Pada serum, didapatkan penurunan DNA EBV 34,6 persen.
Penurunan DNA EBV dapat disebabkan oleh hilangnya atau pengecilan tumor nasofaring sesudah radioterapi. Banyaknya DNA EBV yang dilepaskan dalam sirkulasi darah berasosiasi dengan besarnya tumor.
Pasien yang telah sembuh tetapi setelah beberapa lama masih mengandung DNA EBV dalam kadar tinggi berarti mengalami kekambuhan. Itu menunjukkan adanya virus yang dilepaskan ke sirkulasi darah setelah replikasi ke jaringan KNF. Jumlah DNA EBV dalam plasma dapat digunakan untuk pemantauan penderita KNF dan memprediksi stadium atau terapi yang dibutuhkan.
Untuk itu perlu dilakukan pemantauan keberadaan DNA EBV pada penderita KNF sebelum, selama, dan sesudah menjalani terapi dengan real time PCR untuk memonitor efektivitas terapi yang diberikan.