Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Standar Pemantauan Emisi GRK

Kompas.com - 30/05/2011, 04:54 WIB

OLEH YUNI IKAWATI

Emisi gas-gas rumah kaca memperburuk lingkungan dan iklim global. Kondisi ini mendorong banyak negara menetapkan target pengurangan. Standar pemantauan emisi gas rumah kaca menjadi faktor penting terkait pemberlakuan skema perdagangan atau transaksi penyerapan karbon. 

Fenomena perubahan iklim akibat akumulasi gas-gas rumah kaca (GRK), terutama karbon, di atmosfer pertama kali diketahui pada pertengahan abad lalu. Temuan itu diperoleh berdasarkan pemantauan kondisi global dalam kurun waktu panjang, yaitu sejak abad ke-17.

Dengan mengembangkan instrumentasi pengukuran, Amerika Serikat mulai memantau suhu permukaan bumi dalam cakupan global tahun 1880. Data itu merupakan arsip terbesar di dunia yang dimiliki National Climatic Data Center (NCDC) di bawah United States National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). NOAA juga mengelola basis data iklim global yang meliputi data sejarah suhu, presipitasi, dan tekanan udara dari ribuan stasiun pengamatan di darat dari seluruh dunia.

Fenomena iklim dunia menjadi perhatian sejak terungkap adanya perubahan iklim pada pertengahan abad ke-20. Pada periode 1961-1990 diketahui ada anomali suhu permukaan laut, yang menjadi salah satu pemicu gangguan cuaca dan iklim.

Peningkatan suhu atmosfer antara lain pernah dilontarkan ahli radar dari Universitas Kyoto, Shoichiro Fukao, yang memantau kimia atmosfer. Ia melihat ada perubahan suhu di atas dan di atmosfer bumi seperempad abad lalu, akibat penumpukan gas karbon.

Dalam waktu 10 tahun sejak tahun 1985, suhu lapisan udara atas—pada ketinggian lebih dari 100 kilometer dari permukaan bumi—turun 0,3 derajat celsius. Sebaliknya, suhu udara di permukaan bumi naik 0,1 derajat celsius sejak kurun waktu sama.

Kenaikan suhu berkorelasi dengan peningkatan emisi karbon, seperti terpantau Mike Raupach dari CSIRO Marine and Atmospheric Research dan Global Carbon Project Australia. Emisi CO rata-rata naik 1,6 persen per tahun pada 1990-an menjadi 3 persen per tahun pada tahun 2000-an. Dari aktivitas manusia di bumi, hampir 8 giga ton CO teremisikan ke atmosfer tahun 2005, padahal tahun 1995 hanya 6 giga ton.

Standar pengukuran

Penelitian iklim dunia oleh banyak negara mendorong dibangunnya beberapa ribu stasiun meteorologi, stasiun penelitian Antartika dan satelit observasi parameter iklim. Selain itu, pengukuran dilakukan melalui ekspedisi kapal riset.

Pemantauan melahirkan berbagai versi data parameter iklim. Selain NOAA, ada Hadley Centre Inggris yang mengeluarkan hasil observasinya. Sayangnya, hasil analisis dari dua pusat riset itu berbeda akibat ketidaksamaan metode perolehan nilai suhu di lokasi.

Perbedaan dalam pengukuran, termasuk emisi GRK, berdampak negatif, yaitu sulit menetapkan dasar nilai pengurangan emisi GRK di tiap negara. Untuk mengatasi kesimpangsiuran data Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) menetapkan satu standar metode pengukuran yang dipegang tiap negara.

Pengukuran tak terstandar dapat merugikan negara yang dituding sebagai biang pencemar. Padahal, hasil itu belum tentu benar. Hal ini pernah dialami Indonesia. Tahun 2006, Indonesia dituding Wetland International sebagai pencemar karbon terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan China.

Menurut pakar meteorologi dari BPPT, Edvin Aldrian, yang kini Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pernyataan itu tidak memiliki dasar kuat karena hanya memasukkan emisi karbon saat kebakaran lahan gambut tahun 1997 yang merupakan tahun El Nino hebat. Angka yang digunakan pun 13 kali lebih tinggi dari yang terpantau beberapa lembaga riset.

Perhitungan juga tak memasukkan daya serap karbon oleh hutan dan wilayah laut Indonesia yang meliputi dua pertiga luas negara.

Tudingan itu mendorong Indonesia menghitung secara komprehensif kandungan karbon di lahan gambut yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. ”Pelepasan gas karbon dari Indonesia akibat pembukaan lahan disertai pembakaran memang tergolong besar,” kata pakar gambut, Bambang Setiadi, yang juga Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Pengukuran potensi gambut harus juga menghitung kedalaman deposit gambut di bawah permukaan tanah. Penelitian harus menggunakan sistem penginderaan jauh (tomografi).

Untuk mendukung upaya itu, International Standard Organization menetapkan standar emisi GRK, seri ISO 14064, yang mengatur tentang pemantauan, pengurangan, dan validasi asersi gas-gas rumah kaca. Selain itu, dikeluarkan ISO 14067 untuk mengukur produksi karbon.

Saat ini, kata Suminto dari Pusat Penelitian dan Pengembangan BSN, pihaknya menyiapkan draf SNI yang mengadopsi standar internasional itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com