MAKASSAR, KOMPAS
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Soebagyo, Rabu (20/4) di Makassar, Sulawesi Selatan, mengatakan, sedikitnya ada dua aturan yang menghambat produktivitas sutra alam. Pertama, fungsi Balai Persutraan Alam di Desa Bili-bili, Kabupaten Gowa, Sulsel, yang hanya menerbitkan sertifikasi kualitas telur dan induk ulat sutra. Kedua, penyediaan telur ulat sutra yang selama ini dimonopoli PT Perhutani.
Fakta tersebut ditemukan saat anggota Komisi IV DPR memanfaatkan reses masa persidangan III dengan berkunjung ke Sulsel pada 17-20 April.
”Kami akan memanggil Menteri Kehutanan agar merevisi peraturan tentang sutra alam sekaligus memperbaiki alur pengolahannya dari hulu sampai hilir,” ungkap Firman. Selama ini Balai Persutraan Alam hanya bertugas menyediakan lahan murbei hingga menjadi kokon.
Proses selanjutnya dari kokon hingga menjadi benang ditangani Kementerian Perindustrian. Sementara proses pembuatan kain sutra maupun pemasarannya menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan. ”Ini harus dirombak,” kata Firman.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Syukri Mattinetta, kompleksitas alur pengolahan sutra itu sering menjadi biang kegagalan proses pengolahan kokon menjadi benang.