WASHINGTON, KOMPAS.com - Penguin muda di Kutub Selatan bisa mati merana karena situasi yang semakin berat untuk mendapat makanan, sementara pencairan es mengurangi ikan kecil yang mereka makan.
Tinggal 10 persen bayi penguin, yang diberi tanda para peneliti kembali dalam dua tahun setelah dipelihara.
"Turun dari 40-50 persen pada 1970-an," kata para ilmuwan itu di dalam studi yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, Senin (11/4/2011).
Penguin chinstrap (Pygoscelis antarcticus), yang dikenal berdasarkan ciri khas penanda di kepala mereka yang menyerupai topi dengan garis hitam tepat di bawah tengkuknya, adalah kelompok terbesar kedua di wilayah tersebut setelah penguin macaroni.
Spesies penguin tersebut menghadapi risiko besar sebab populasinya terbatas di satu daerah, South Shetland Islands.
"Itu adalah perubahan dramatis," kata pemimpin peneliti Wayne Trivelpiece, dari Antartic Ecosystem Research Division, National Oceanic and Atmospheric Administration, kepada AFP, Selasa (12/4/2011).
"Masih ada dua sampai tiga juta pasangan penguin chinstrap di wilayah ini, tapi ada tujuh sampai delapan juta penguin itu dua dasawarsa lalu," katanya.
"Sekarang situasinya semakin memprihatinkan. Kami perlu mengikuti hewan ini dan melacak mereka," tambahnya.
Studi selama 30 tahun tersebut meliputi penguin chinstrap dan Adelie di Bagian Barat Kutub Selatan dan melacak jumlah sumber makanan utama mereka, krill, hewan berkulit keras yang mirip udang kecil dan kebanyakan dimakan oleh ikan paus, anjing laut dan penguin.
Trivelpiece adalah kelompok penulis peneliti yang melakukan studi banding, yang diterbitkan pada 1992.
Hasil penelitian mereka mencatat populasi penguin bertambah atau berkurang sejalan dengan perubahan es laut.
Berdasarkan penelitian, penguin chinstrap bertahan lebih baik pada cuaca yang lebih hangat dan Adelie berjuang hidup pada masa dingin.
Penguin chinstrap makan dan membuat sarang mereka jauh dari salju dan es sehingga dipandang sebagai hewan yang menghindari es, tak seperti timpalan mereka dari jenis Adelie, yang mencari makan di habitat yang mengandung es dan dipandang sebagai lebih rentan ketika es berkurang.
Namun, Trivelpiece dan rekan penulisnya sekarang percaya bahwa krill adalah pemicu utama hilangnya populasi penguin, dan dampak yang merusak pada kedua jenis penguin tersebut.
Krill memerlukan es untuk bertahan hidup, dan saat perubahan iklim mengakibatkan makin banyak es di kutub mencair, makhluk kecil di laut itu tak dapat berkembang biak atau berpesta menyantap phytoplankton di es dan jumlahnya berkurang, sehingga hilang lah sumber penting makanan bergizi buat penguin.
"Berdasarkan skenario pemanasan global dan peningkatan temperatur, kami telah menobatkan bahwa penguin Adelie dan hewan yang menyukai es bisa berkurang, sementara penguin chinstrap dan hewan yang menghindari es bisa bertambah," kata Trivelpiece.
Tapi tak lama setelah paper tim tersebut diterbitkan pada awal 1990-an, data yang ada mulai berubah.
"Dari sudut pandang tak lama sesudahnya, kami kehilangan banyak musim pancaroba tersebut dan kedua spesies mulai berprilaku dengan cara yang sama dan keduanya mulai berkurang secara dramatis," katanya.
"Sampai saat itu kami memiliki cukup data dan menyadari apa yang terjadi dengan kedua penguin muda tersebut, kami menyadari perbedaan besar terjadi di antara tahun-tahun awal, ketika tersedia banyak krill, dan tahun-tahun belakangan, saat krill tak tersedia lagi."
"Selama tiga dasawarsa belakangan, biomassa krill telah merosot 38 sampai 81 persen," kata studi itu.
"Jika pemanasan berlangsung terus, es-laut musim dingin mungkin menghilang dari sebagian besar wilayah ini dan menambah penurunan populasi krill dan penguin," kata studi tersebut.
Penyebab utama kemerosotan populasi krill adalah perubahan iklim. Selain itu, penambahan kembali jumlah ikan paus, yang meningkat setelah perburuan berkurang.
"Sehingga menambah banyak jumlah pemangsa, yang memakan krill," kata Trivelpiece.
"Penangkapan ikan secara besar-besaran untuk tujuan komersial, yang menggunakan krill sebagai umpan alamiah juga dapat mengurangi lagi jumlah hewan yang disediakan alam," kata studi itu.
Meskipun penguin tersebut jauh dari ancaman kepunahan, para peneliti tersebut telah mendesak International Union for the Conservation of Nature untuk menilai status mereka dan kemungkinkan menaikkan status hewan itu di Red List mengenai spesies rentan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.