Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Harus Hitung Kompensasi jika Kecelakaan

Kompas.com - 26/03/2011, 04:19 WIB

Jakarta, Kompas - Risiko kecelakaan instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir mengandung konsekuensi berat bagi pengusaha atau pemiliknya. Bagi negara, seperti Indonesia, yang ingin membangun PLTN harus mempertimbangkan penghitungan kompensasi terhadap korban dan kerusakan ekologi jika terjadi kecelakaan sebagai sikap kehati-hatian dalam merencanakannya.

Kompensasi terhadap masyarakat korban juga risiko kerusakan ekologi bisa terjadi selama bertahun-tahun. Bahkan, ketika dampak merugikan dapat dibuktikan sampai ke luar negeri itu akan dibebankan sebagai kompensasi unilateral.

”Risiko kerusakan PLTN meskipun disebabkan bencana alam, tetap menjadi tanggung jawab pengusaha dan operatornya. Kecuali jika PLTN rusak akibat perang atau sabotase teroris,” kata pakar hukum lingkungan internasional, Prof Michael Faure, dalam kuliah umum ”Pertanggungjawaban Perdata dan Kompensasi bagi Korban Pencemaran Lingkungan” di Jakarta, Jumat (25/3).

Faure adalah Guru Besar Hukum Lingkungan Internasional Universitas Maastricht, Belanda, sekaligus Guru Besar Hukum dan Ekonomi Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda. Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengundang Faure untuk menyampaikan kuliah umum tersebut.

Menurut Faure, perencanaan operasional PLTN di Indonesia mengacu Konvensi Vienna 1963. Konvensi yang berlaku sejak 12 November 1977 itu menyebutkan, operator harus tetap bertanggung jawab untuk kerugian akibat bencana alam apa pun bentuknya.

”Misalnya, akibat kecelakaan instalasi PLTN ada 10.000 orang terkena kanker. Pengusaha bertanggung jawab terhadap pengobatan dan biaya lain. Ini harus diperhitungkan sebagai pertanggungjawaban perdata,” katanya.

Penanganan kompensasi bagi korban dan kerusakan ekologi sebagai pertanggungjawaban perdata di Indonesia selama ini dianggap kerap gagal. Hal itu dikemukakan Direktur Penelitian dan Pengembangan LBH Masyarakat yang juga Ketua Subprogram Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri G Wibisana dalam pengantar kuliah umum. ”Hak gugat memang selalu diterima, tetapi substansi gugatan sering tidak diterima,” kata Andri.

Andri mengatakan, sistem peradilan perdata masih kerap menggunakan istilah tindakan melawan hukum. Padahal, pertanggungjawaban perdata bukan masalah melawan hukum.

Menurut dia, pertanggungjawaban perdata penting untuk memberikan perlindungan kompensasi bagi korban. Pertanggungjawaban perdata juga mengatur penyediaan insentif oleh pihak yang berpotensi mencemari agar ada langkah kehati-hatian. (NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com