BANDUNG, KOMPAS -
Hal tersebut diungkapkan peneliti dari Kelompok Keilmuan Nuklir dan Biofisika ITB, Profesor Zaki Su’ud, di Bandung, Selasa (15/3). Setiap reaktor nuklir memiliki sistem perlindungan yang bekerja apabila terdapat kegagalan pada proses tertentu. Misalnya, reaktor mati jika batang kendali keluar dari teras reaktor.
”Yang dihadapi para teknisi reaktor saat ini adalah untuk mendinginkan panas sisa (
Panas sisa sebetulnya juga bisa ditangani secara otomatis dengan pompa khusus yang mendapat tenaga dari genset tersendiri. Hanya saja, genset tersebut tidak bisa dipergunakan akibat terkena empasan tsunami.
Zaki menjelaskan, konstruksi reaktor di Jepang umumnya didesain untuk bisa menahan gempa hingga kekuatan 8,5 skala Richter. Hanya saja, gempa berkekuatan 9 skala Richter, Jumat lalu, membuat sistem pengaman tidak bekerja sempurna, ditambah lagi adanya tsunami.
Krisis nuklir di Jepang dimulai sejak pompa tidak bekerja untuk mendinginkan panas sisa di teras reaktor. Peningkatan suhu teras reaktor diikuti bertambahnya tekanan hingga 1,5 lipat membuat operator menghadapi dilema. Apabila dibiarkan, teras reaktor bisa pecah sehingga menyebarkan bahan radioaktif ke udara.
”Pilihan yang diambil adalah mengurangi tekanan dengan mengeluarkan hidrogen. Hidrogen bertemu oksigen di udara sehingga berlangsung proses eksoterm dan berujung pada terjadinya ledakan,” kata Zaki.
Menurut dia, radiasi yang sempat lolos dari reaktor nuklir masih dalam batas aman dan jauh di bawah radiasi alam seperti dari gas radon. Gas ini menjadi penyebab kanker paru-paru di Amerika Serikat.
Menurut peneliti dari Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, Irwan Meilano, gempa di Jepang sebetulnya sudah diprediksi. Pesisir Sendai yang terdekat dengan pusat gempa sudah diprediksi berpotensi menengah.
”Yang tidak bisa diramalkan adalah kekuatan gempa. Daya tahan bangunan hingga 8,5 SR sebetulnya dipatok lebih tinggi dari gempa sebelumnya yang mencapai 8,3 SR,” ujar Irwan.
Mengenai Indonesia, Irwan mengatakan, Indonesia memiliki daerah yang terpetakan dengan potensi gempa rendah, seperti Kalimantan, selatan Sulawesi, dan utara Jawa.