Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyu Pangumbahan di Ujung Tanduk

Kompas.com - 11/03/2011, 05:12 WIB

Ratusan tukik penyu hijau (Chelonia mydas) beradu cepat mencicipi deburan ombak Pantai Pangumbahan di Sukabumi selatan, Jawa Barat. Perjuangan hidup, bertahan melawan tantangan alam dan pemangsa, agar dapat kembali ke pantai tempat kelahirannya 30 tahun nanti, pun dimulai. Namun, pantai mereka tak lagi aman, bahkan mengancam kisah hidupnya.

Pantai Pangumbahan di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, yang terletak di kawasan Pantai Ujung Genteng adalah salah satu lokasi regenerasi penyu hijau di Tanah Air. Di pantai ini terdapat Taman Pesisir Penyu Pangumbahan yang sekaligus berperan sebagai tempat penangkaran penyu. Jaraknya hanya sekitar 7 kilometer dari Ujung Genteng yang terkenal dengan hamparan batu karang dan ombaknya itu.

Dekatnya lokasi penangkaran dengan obyek wisata membuat wisatawan penasaran melihat penyu bertelur dan pelepasliaran tukik ke laut. Para turis hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari Ujung Genteng ke Pangumbahan, dengan menumpang ojek yang ongkos antar-jemputnya Rp 50.000. Habitat penyu di Pangumbahan menjadi magnet. ”Saya ke sini karena teman kantor bilang bisa lihat penyu bertelur,” kata salah seorang pengunjung asal Jakarta.

Banjir turis di Taman Pesisir Penyu, kata Koordinator Lapangan Unit Pelaksana Teknis Daerah Konservasi Penyu Pangumbahan, Janawi, seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, kehadiran turis dapat meluaskan pengetahuan dan kesadaran publik akan pentingnya menjaga kelestarian penyu. Tapi, di sisi lain, turis yang membeludak justru mengganggu penangkaran penyu.

Hal itu tergambar pada Jumat (24/12) malam akhir tahun 2010, puluhan turis berduyun-duyun melihat penyu bertelur. Mereka antusias mendekati penyu-penyu yang menggali lubang di pantai untuk memendam puluhan telurnya. Meski sejak awal petugas mengimbau pelancong tidak mengeluarkan cahaya yang berasal dari korek api, kilat kamera, dan telepon seluler, tetap saja turis-turis itu membandel.

Para pengunjung masih diizinkan memotret, tapi tanpa sorotan lampu kamera. Sebab, penyu relatif peka terhadap cahaya ketimbang suara berisik. Jika cahaya berlebihan, penyu kerap kali membatalkan pendaratannya karena merasa terancam dan baru akan kembali beberapa hari kemudian.

Pencurian

Problem lainnya di Pangumbahan ialah oknum aparat yang sengaja mengambil telur penyu untuk tujuan komersial. Ada yang minta paksa, ada juga yang diam-diam mencuri untuk menjual telur itu seharga Rp 5.000 per butir. ”Mereka biasanya meminta sampai satu sarang yang berisi 70-140 butir. Petugas kami menolaknya, tetapi sering kali mereka lolos,” kata Adang Sholehudin, penanggung jawab tukik.

Seperti malam itu, ada tiga orang—diduga oknum aparat yang bermarkas di dekat Pangumbahan—mengawasi sarang penyu dari lokasi yang sunyi, di pos 3 dan 4. Bahkan, pada kesempatan itu juga seorang oknum diam-diam kedapatan mengambil sebutir telur dari lubang sarang. Dia meminta petugas mengambilkan sebutir telur yang belum semenit ditaruh penyu di sarang, lalu memasukkannya ke kantong jaket. ”Ini bisa buat obat,” ujarnya cuek.

Telur penyu banyak dicari konsumen karena, menurut mitos, mujarab sebagai obat perkasa bagi kaum pria. Meski belum ada hasil uji kedokteran yang mematenkan, konon telur penyu berkhasiat mengobati darah tinggi dan meningkatkan vitalitas tubuh. Padahal, kandungan protein telur penyu terbilang rendah dan kadar kolesterolnya tinggi, bisa empat kali lipat dibandingkan telur ayam.

Pencuri biasanya mengambil dari 1-2 sarang. Dengan harga sebutir telur Rp 5.000, hasil yang mereka peroleh bisa mencapai Rp 500.000 karena dari satu sarang bisa ada 100 telur. Tindakan oknum-oknum itu jelas melanggar hukum dan merugikan konservasi penyu.

Mengenai ulah mereka itu, Janawi telah berulang kali melaporkan kepada atasan yang bersangkutan. Namun, mereka selalu berkeliaran di pantai setiap kali musim penyu bertelur tiba. Mereka ibarat predator sebelum telur-telur itu menetas. Dulu memang banyak warga sekitar yang juga mencuri telur penyu, tapi kini jumlahnya berkurang.

Selain gangguan dari luar, penangkaran penyu juga terkendala minimnya fasilitas, misalnya dari tiga tempat penetasan telur, hanya satu lokasi yang berfungsi. Dua tempat yang difungsikan sebagai sarang buatan dan penetasan jarang dipakai karena lokasinya tertutup dari sinar matahari hingga telur cepat membusuk atau dikerubungi semut.

Tiap lokasi penetasan mampu menampung hingga 5.000 telur, dengan 480 lubang telur yang masing-masing menyimpan sekitar 90-100 telur. Dalam waktu 50-90 hari, telur itu menetas. Tukik sengaja dikumpulkan lebih dulu, lantas dilepasliarkan bersamaan dalam jumlah ratusan, bahkan mencapai seribu ekor. Tujuannya, memaksimalkan jumlah tukik yang selamat dari predator alami di laut.

Biasanya, dari 100 tukik yang melaut, hanya satu atau dua ekor yang bertahan hidup. Sisanya mati dimakan ikan besar, burung, atau terperangkap jaring nelayan. Semakin banyak tukik yang dilepasliarkan bersamaan, makin besar peluang jumlah tukik yang bertahan menjadi penyu dewasa.

Perlu dikaji ulang

Melihat kondisi ini, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Suharsono mengatakan, Pantai Pangumbahan sudah tidak lagi ideal sebagai tempat penangkaran penyu. Secara alamiah, penyu menyukai pantai yang sepi, gelap, dan tidak ada bunyi-bunyian. Penyu tidak bisa bertelur di sembarang pantai, mereka hanya bisa bertelur di pantai berpasir lembut, tak mengandung lempung, dan didukung area pendaratan yang luas.

Kini, yang perlu diperbaiki di Pangumbahan ialah kondisi sekitar pantai, termasuk konsep wisata dan fasilitas penangkaran. Sebab, upaya penangkaran belum sepenuhnya mendukung kelestarian penyu. Selama ini belum ada penelitian yang bisa menunjukkan korelasi penangkaran dengan pertambahan jumlah penyu.

”Kemungkinan tukik selamat dan jadi penyu bisa jadi lebih kecil bila proses penangkaran sudah terganggu sejak awal,” katanya.

Perkembangan kawasan konservasi ke arah pariwisata massal (mass tourism) perlu dikaji ulang. Sepatutnya, pemerintah setempat bisa mengembangkan konsep pariwisata ekologi (ecotourism), yang saling mendukung dan bukan malah mengurangi peran konservasi biota laut. Jika perlu, jumlah turis dibatasi dengan membayar tiket mahal untuk bisa masuk ke penangkaran penyu.

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak pantai pendaratan penyu yang ideal. Di antaranya Tanjung Benoa dan Pulau Serangan, Bali; Pantai Sukamande Banyuwangi; Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat; Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; dan Pantai Batu Hiu Pangandaran, Ciamis.

Kepunahan satu biota adalah bukti ketidakmampuan pemerintah melestarikan kekayaan alam Nusantara. Memang tidak mudah, tapi hal itu bisa dimulai dengan memberikan kesempatan pasukan tukik penyu hijau menembus ombak Pantai Pangumbahan untuk kali pertamanya. (tht/rek)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com