Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seperti Mumi Tanpa Kepala

Kompas.com - 07/03/2011, 06:01 WIB
Oleh Rene L Pattiradjawane

KOMPAS.com - Le grand feu debute par le premier étincele, kata orang Perancis, api besar muncul karena percikan api kecil. Gejolak di Timur Tengah dimulai dengan kejatuhan rezim kekuasaan di Tunisia, kemudian Mesir, serta menjalar ke berbagai negara Arab lain, seperti Libya, Yaman, Oman, dan Bahrain, dalam proses menuju ke api yang lebih besar.

Kejatuhan Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak adalah api kecil yang mengilhami jalannya revolusi Timur Tengah. Ini menghasilkan semangat menuju ke perubahan drastis pemikiran dan perilaku atas budaya, ekonomi, dan sosial-politik di Timur Tengah.

Bedanya, di Libya proses ini menuju ke perang saudara antara penguasa yang ingin bertahan di bawah Moammar Khadafy dan kelompok anti-Khadafy. Dalam spektrum lebih luas, api Timur Tengah bisa dipastikan akan mengguncang keseluruhan struktur pemerintahan, parlemen, media, sistem yudisial, bahkan kekuatan tentara negara-negara Arab.

Gejolak di kawasan Timur Tengah dari sisi politik dan ekonomi domestik memiliki tahapan yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Namun, intinya di kawasan muncul persoalan korupsi, nepotisme, maupun penegakan hukum.

Hal ini tidak saja ditentang di kawasan, tetapi juga berhadapan dengan kawasan-kawasan lain di dunia yang mementingkan demokratisasi dan pembaruan. Persoalan di Timur Tengah pun menjadi perhatian dunia atas nama nilai-nilai universal.

Serangan teroris 11 September 2001 terjadi di AS, yang dilakukan oleh 19 orang keturunan Arab. Teroris membajak pesawat terbang dan menghancurkan simbol politik dan ekonomi AS. Sejak itu AS gencar mendorong demokrasi di dunia atas nama nilai-nilai universal yang disebut ”Freedom Agenda”.

Namun, AS dan sekutunya di Barat sekarang harus berhadapan dengan persoalan legalitas maupun legitimasi internasional ketika ingin memaksakan ”Freedom Agenda” itu di negara lain.

Kita menantikan kelahiran sejarah baru tanpa akhir yang jelas. Ini berdampak langsung terhadap jalannya globalisasi. Balkanisasi di kawasan Eropa dan Rusia mengubah geopolitik dan geostrategi dunia sejak rontoknya Tembok Berlin dan sampai sekarang masih mencari bentuk pembaruan komprehensif.

Pembaruan komprehensif dari Bahrain ini sampai ke Maroko. Ini memerlukan proses panjang yang bisa mengubah tatanan yang selama ini berlaku di negara-negara Arab. Tuntutan terhadap sistem politik yang demokratis, ekonomi kapitalis, dan modernisasi budaya menjadi desakan sangat kuat, yang mengancam penguasa Arab mana saja.

Di sisi lain, dalam lingkup pembaruan komprehensif ini globalisasi juga memiliki agenda politiknya sendiri. Dunia sedang berupaya memperluas kompetisi ekonomi dan politik. Ini akan mengarah pada keterbukaan dalam hubungan negara dan masyarakat, dan dunia diarahkan pada kualitas politik, ekonomi, serta sosial-budaya yang sama sekali baru.

Gejolak di Timur Tengah yang tersendat seperti di Libya ibarat mumi yang dipotong kepalanya, tetapi badannya masih bergerak dan berjalan. Padahal, berbagai kawasan di dunia sedang bergerak menata diri untuk memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk hidup secara adil melalui kekuasaan yang beradab.

Bisakah Arab dibuat menjadi kawasan demokratis? Turki membutuhkan waktu 60 tahun dari tahun 1950 sampai 2010 untuk bisa melakukan pemilu demokratis dan mendirikan pemerintahan sipil setelah dibayang-bayangi kelompok militer.

Universalis

Washington sampai sekarang tidak bisa memberikan garansi demokrasi dan menghadirkan tertib sipil sejak mencanangkan ”Freedom Agenda” di Irak maupun Afganistan.

Juga muncul persoalan legitimasi internasional, sekaligus persoalan dalam pendekatan politik global yang masih terpaku pada pola Perang Dingin melalui superioritas militer, tanpa melihat adanya perubahan baru dalam pemikiran dan interkoneksi antarbangsa.

Mungkin Samuel P Huntington benar dalam bukunya, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (1996), membahas masalah hipokrasi dan standar ganda dalam percaturan politik internasional menuju ke pretensi universalis.

Ketika argumentasi Huntington kita terjemahkan dalam proses revolusi Timur Tengah sekarang ini, ada dua persoalan yang muncul antara masalah nasionalistik negara Arab dan intrinsik peradaban orang Arab.

Gabungan persoalan ini membuat pelik persoalan revolusi di berbagai negara Timur Tengah. Perilaku internasional, khususnya AS dan negara Eropa dengan komitmen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), kesulitan dalam menentukan jalannya perubahan politik regional Timur Tengah. Barat kesulitan menghadapi kekuasaan korosif dan orang muda yang frustrasi karena tidak mengenal kebebasan memilih di tengah persoalan dunia.

Atas nama demokrasi dan kemanusiaan, pilihan yang tersedia adalah komitmen atas nilai-nilai ideal universal dan perlunya pengamanan investasi dan kepentingan nasional. Apakah kita akan melihat sebuah perubahan ke era baru atau hanya bentuk protes sehari-hari?

Ada pepatah Libya menarik yang bisa memberikan setidaknya gambaran arah tentang revolusi yang sudah memakan darah manusia. ”Senyum adalah kata terbaik tanpa harus mengucapkan kalimat”, yang diartikan siapa pun tidak akan kehilangan harta (atau uang) kalau tetap optimistis. Perubahan memang terjadi, tetapi seberapa cepat dan seberapa perih perubahan itu terjadi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com