MALANG, KOMPAS -
Menurut keterangan yang dihimpun pada Selasa (22/2), gemuruh makin terdengar pada dini hari pukul 03.00. Warga merasakan getaran pada jendela rumahnya.
”Berlangsung hanya beberapa detik, tetapi terjadi cukup sering. Paling tidak, dua hari sekali,” ungkap Camat Kare, Sawung Rohtomo.
Ia bahkan mendapat laporan dari desa-desa terdekat dengan puncak Gunung Wilis di Desa Kandangan, bahwa gemuruh sudah terdengar sejak akhir Januari.
Menurut Sawung, warga tak mungkin mengelak dari kecemasan. Akan tetapi, belum ada tindakan yang dapat dilakukan kecuali dengan penelitian menyeluruh antarinstansi. ”Kami menerima berita dari Jakarta bahwa itu merupakan gerakan tanah sebagaimana disampaikan Direktorat Vulkanologi,” katanya.
Namun, apa yang harus dilakukan dan dianjurkan kepada warga, Sawung belum bisa memastikannya. Yang bisa dilakukan hanya meminta para kepala desa untuk segera melapor jika muncul keadaan lingkungan yang tidak lazim. Misalnya, keluarnya hewan dari hutan atau tanah longsor.
Kondisi di Desa Kare sejauh ini tenang-tenang saja. Saat dikunjungi Senin petang, Desa Kare yang merupakan pusat Kecamatan Kare, warga tampak menjalankan kehidupan sehari-hari dengan normal.
Desa Kare terletak sekitar 25 kilometer arah tenggara dari pusat Kota Madiun. Akan tetapi, terpisah oleh areal hutan Perhutani sepanjang 15 kilome-
Kare meliputi perbatasan Madiun dengan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Ponorogo. Keduanya berada di kaki Gunung Wilis, bagian dari wilayah kabupaten lain yang juga berada di kaki Wilis, yakni Kediri dan Trenggalek.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono di Bandung, Jawa Barat, Selasa, mengatakan bahwa pergerakan tanah di sekitar Gunung Wilis masih akan terjadi apabila curah hujan masih tinggi. Resapan air hujan akan membuat tanah semakin berat dan rentan menjadi longsor.