Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bekerja Bersama Masyarakat

Kompas.com - 03/12/2010, 05:39 WIB

Upaya menghentikan dan menurunkan penyebaran HIV/AIDS sampai separuhnya pada tahun 2015 terancam gagal apabila tak ada intervensi berarti, termasuk peran masyarakat sipil.

Serbagai kemajuan mencapai target ke-6 Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) terbaca dari Laporan Kelompok Masyarakat tahun 2010 Forum Sesi Khusus Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGASS)-AIDS Indonesia. Laporan bayangan periode pelaporan 2010 itu—laporan independen kedua setelah tahun 2008—menyoroti aspek kualitatif dari indikator UNGASS yang tak bisa dimasukkan dalam laporan negara.

Prosesnya dimulai sejak 2009 oleh 18 anggota organisasi masyarakat sipil (OMS), terdiri dari lima OMS berskala nasional, dijalani mereka yang terdampak HIV/AIDS dan 13 OMS di lingkup persoalan HIV/AIDS.

Data dikumpulkan dari Aceh, Jakarta, Samarinda (Kalimantan Timur), Yogyakarta, Manado (Sulawesi Utara), dan Jayapura (Papua). Diskusi kelompok terfokus (FGD) melibatkan 165 orang dari populasi kunci (homoseksual, waria, lesbian, pengguna narkoba suntik/penasun, orang dengan HIV/AIDS atau ODHA, dan pekerja seks), pasangan seksual penasun, dan remaja; dinas kesehatan, Komisi AIDS, kepala sekolah SMA, pasien HIV yang mengakses layanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi HAM, dan Komnas Perempuan.

Kemajuan dan catatan

Laporan itu menyebut sejumlah kemajuan dalam pelaksanaan strategi nasional 2007-2010. Antara lain, naiknya anggaran pemerintah hingga 7 kali lipat dalam periode 2006-2009, dari 11 miliar dollar AS menjadi 73 miliar dollar AS serta peran pemerintah memberi asuransi kesehatan bersubsidi (Jamkesmas) pada ODHA.

Peran KPA dipandang sangat nyata dalam meningkatkan peran pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengakses Dana Global, mengoordinasi peran mitra pembangunan, serta mendinamisasi kemitraan antara instansi pemerintah, mitra pembangunan, dan masyarakat sipil.

Kematian akibat infeksi oportunistik yang menyertai ODHA juga turun, dari 46 persen pada tahun 2006 menjadi 17 persen pada tahun 2008. Kehilangan kontak dengan ODHA juga menurun, dari 5,6 persen pada 2008 menjadi 5 persen pada 2009.

Di sisi lain, laporan mencatat perlunya peningkatan perhatian pada sejumlah layanan, antara lain, masih rendahnya ketersediaan ARV sirup untuk anak. Beberapa anak mendapat resep dengan dosis dihitung dari dosis orang dewasa. Laporan juga mencatat pentingnya memantau kemungkinan resistensi terhadap ARV karena beberapa ODHA mengonsumsi ARV beberapa waktu, tetapi mendapati jumlah virus tidak berkurang dan menjadi sakit.

Laporan menyoroti hubungan erat antara kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, perdagangan orang, dan berbagai bentuk eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak, dengan kerentanan terhadap infeksi HIV. Isu lain ketakutan akan stigma dan diskriminasi meskipun pemerintah telah melakukan kampanye tentang cara transmisi HIV/AIDS.

Hasil FGD menunjukkan, di Yogyakarta dan Manado masih terdapat ketidaktahuan pada ODHA bahwa penularan dari ibu kepada anak saat melahirkan dan menyusui dapat dicegah. Ketakutan ODHA yang hamil akan stigma sosial menyebabkan mereka menutupi kondisi sebetulnya, sebab ada pekerja kesehatan yang ketakutan ketika mengetahui klien mereka positif HIV.

Di masyarakat sebenarnya ada berbagai upaya yang bisa dicatat. Seperti Yayasan Kusuma Buana yang menekuni pencegahan penyebaran HIV di kalangan pekerja seks komersial. Beberapa tahun terakhir kerja mereka juga terfokus pada pencegahan HIV di kalangan tenaga kerja.

Yayasan Pelita Ilmu bisa dikatakan LSM pertama yang memberi dukungan bagi ODHA melalui pendampingan dan layanan pengobatan. Sejak 2007, lembaga itu menyelenggarakan layanan pencegahan penularan ibu ke anak (PMTCT) di sembilan provinsi.

Belum optimal

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengakui masih banyak yang harus dilakukan untuk menghambat penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, khususnya yang berada di lingkup kerja Kementerian Kesehatan. ”Penanganan selama ini masih lebih difokuskan ke hilir, sementara yang di hulu belum optimal,” ujar doktor di bidang sosio-epidemiologi AIDS itu. Menkes adalah Wakil Ketua I Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional yang diketuai Menko Kesra.

Fokus di hilir artinya mencegah dan mengobati yang sudah terinfeksi HIV dengan pengobatan antiretroviral virus (ARV). Sementara penanganan di hulu terkait pencegahan terhadap kelompok berisiko tinggi.

”Yang melalui seks sebenarnya susah,” ujar Endang. ”Promosi kondom serba salah. Saya mengandalkan bantuan teman-teman dari berbagai organisasi. Capaiannya bisa diukur, tetapi dampaknya sulit diukur.”

Menyangkut kelompok kunci, khususnya perempuan pekerja seks, Endang memahami relasi kuasa antara pemberi layanan dan kliennya. ”Satu-satunya cara untuk tahu kondom dipakai atau tidak adalah hadir di situ,” kata dia.

Dalam penelitian disertasinya di lokalisasi Kramat Tunggak, ia memakai metode buku harian berstiker dan lambang kondom yang harus diisi pekerja seks setiap melayani klien. Ternyata yang memakai kondom tak banyak. ”Ada yang katanya enggak keburu, ada yang bilang klien menolak, sementara ia butuh uang.”

Endang juga meluruskan soal diskriminasi oleh pihak medis. ”Pelayanan di rumah sakit dicampur atau dipisah, kedua cara itu diprotes. Persoalannya bagaimana menangani masalah ini dengan dingin dan bebas prasangka,” papar Endang.

Menurut Endang, ada standar penanganan yang harus dipakai dokter jika mengoperasi pasien dengan HIV. Dia mengingatkan, kerap stigma juga datang dari diri ODHA sendiri.

Mitra

Salah satu strategi KPA adalah langsung menyasar kelompok kunci. Populasi kunci diberdayakan mengenai hak-haknya, mengorganisasi diri, dan menjadi mitra KPA.

Menurut Sekretaris KPA Nasional dr Nafsiah Mboi SpA MPH, menyasar langsung populasi kunci lebih strategis dalam menanggulangi HIV/AIDS dan mencapai target MDGs, terutama dalam era otoda.

Dari 497 kabupaten/kota hingga tahun 2010 hanya 137 kabupaten/kota yang menyediakan layanan penanggulangan HIV/ AIDS. ”KPA sudah berulang kali bertemu Menteri Dalam Negeri yang berjanji akan mengirim surat edaran kepada kepala daerah,” papar Nafsiah. Target 2011, 250 kabupaten/kota memiliki layanan penanggulangan HIV/ AIDS yang disesuaikan dengan hasil pemetaan masalah spesifik daerah.

Penanggulangan HIV/AIDS kerap menjadi isu politik lokal saat kampanye calon anggota DPRD atau kepala daerah. Janji penanggulangan penularan kerap berujung pada isu moral dengan melarang tempat pelacuran, tes keperawanan pada perempuan remaja, atau mengabaikan sama sekali karena mengaitkan penyebaran HIV/AIDS dengan moral populasi kunci.

Sikap menutup mata, telinga, dan hati itu menyebabkan kasus AIDS kini semakin banyak terjadi pada pasangan heteroseksual, virus HIV pun menginfeksi para ibu rumah tangga yang berhubungan hanya dengan suami.

Strategi lain, menyasar kelompok usia 15-24 tahun melalui kerja sama bersama Kementerian Pendidikan Nasional. Data Kemenkes memperlihatkan, kasus AIDS tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, yang berarti penularan sudah terjadi bertahun-tahun sebelum virus itu melumpuhkan pertahanan tubuh sehingga memunculkan sindroma AIDS. (MH/NMP)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com