Peternak sekaligus pedagang sapi di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Nandang Suryana, Selasa (9/11), menuturkan, dirinya memilih menjual sapi untuk kurban dengan timbang hidup agar ada kejelasan bagi konsumen.
”Kalau timbang hidup kan ketahuan berapa bobot sapinya dan setelah dihitung akan ketahuan dapat berapa dagingnya. Dengan begitu, konsumen juga mengerti,” ujarnya.
Pada umumnya pedagang sapi menjual dengan menaksir bobot sapi. Padahal, kata Nandang, sapi dengan penampilan fisik tinggi besar belum tentu lebih berbobot dibandingkan dengan yang pendek.
Nandang sendiri menjual sapi dengan timbang hidup seharga Rp 27.000 per kilogram. Biasanya sapi yang dijual untuk kurban berusia 1-1,5 tahun. Harga taksiran sapi tersebut Rp 7 juta-Rp 8 juta per ekor.
Dia mengakui, menjual sapi dengan menaksir bobotnya akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan menimbang hidup. Akan tetapi, dia lebih merasa tenang jika beradu tawar dengan konsumen jika bobot sapi sesungguhnya telah diketahui.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Kota Tasikmalaya Dadang Andri mengatakan, meskipun pedagang sapi diarahkan untuk menjual dengan timbang hidup, tidak semua pedagang memiliki fasilitas menimbang sapi.
Dadang juga menambahkan, untuk kepentingan kurban, terkadang konsumen tidak terlalu memerhatikan bobot. Penampilan fisik sapi yang bagus dan bersih, misalnya, bisa menjadi faktor penentu. ”Terkadang, sapi yang bobotnya tak terlalu besar tapi penampakan fisiknya bagus, harganya lebih mahal,” ujarnya.
Ade Muksin (38), pedagang sapi, mengatakan, Idul Adha menjadi momentum bagi peternak sapi peranakan ongole (PO) untuk menjual sapinya. Sebab, sebagian besar sapi untuk kurban ialah sapi PO yang dipelihara peternak. Oleh karena itu, Ade menilai wajar, jika dengan cara menaksir bobot, peternak mendapatkan untung lebih.