Oleh Gesit Ariyanto dan Mohamad Final Daeng Dua kali letusan besar Gunung Merapi, pekan lalu, adalah babak baru. Babak baru bagi puluhan ribu penduduk di lereng Merapi dan babak baru bagi vulkanolog serta peminat kegunungapian. Inilah erupsi eksplosif pertama Merapi ketika teknologi pemantauan kegunungapian sudah kian canggih.
Berpuluh tahun, tabiat erupsi Merapi disebut dengan erupsi khas Merapi. Erupsi khas itu berupa leleran lava pijar (erupsi efusif) yang biasanya diikuti luncuran awan panas (wedhus gembel).
Jenis erupsi lain adalah erupsi eksplosif yang ditandai letusan atau ledakan keras yang menyemburkan material vulkanik. Erupsi eksplosif bisa menghasilkan kolom vertikal berkilo-kilo meter yang terbentuk karena tekanan gas yang sangat kuat.
Selasa (26/10/2010) petang dan Sabtu (30/10/2010) dini hari lalu, dalam terminologi Jawa adalah tetenger (tanda) baru. Merapi benar-benar meletus dalam arti sebenarnya: ada ledakan, ada semburan abu vulkanik, serta hujan pasir dan kerikil. Bahkan, pada letusan kedua, hujan abu vulkanik mengguyur kawasan sebagian Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, Kulon Progo, hingga Bantul (Pantai Parangtritis) yang berjarak sekitar 80 kilometer di selatan Merapi.
"Letusan itu besar," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono. Ia sempat menduga letusan Merapi hanya sekali saja.
Pertimbangannya, akumulasi energi sudah dikeluarkan pada letusan pertama. Sejak ada letusan kedua, semua dugaan menjadi serba mungkin, termasuk kemungkinan letusan ketiga dan seterusnya.
Kepala Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi Subandriyo menambahkan, berdasarkan data sementara, kandungan silika pada magma (jika keluar ke permukaan disebut lava) Merapi mencapai 57 persen, yang artinya cenderung asam.
Akibatnya, magma mengental dan kaya gas. Kondisi itulah yang membuat letusan cenderung eksplosif. "Biasanya, kandungan silika Merapi hanya 52-54 persen," ujar Subandriyo. Belum diketahui penyebab peningkatan kandungan silika tersebut.
Meski cukup besar, menurut Subandriyo, kekuatan letusan kedua sekitar separuh letusan pertama, 26 Oktober lalu. Salah satu parameternya, durasi awan panas terlama 22 menit, masih di bawah letusan 26 Oktober yang disusul dua awan panas besar yang masing-masing berdurasi 33 menit.
Kajian baru Menurut Subandriyo, letusan Merapi kali ini akan menjadi kajian baru karena pengalaman pertama pada era sekarang. Pemantauan dari pos pengamatan Gunung Merapi Selo, Kabupaten Boyolali, pada letusan pertama Sabtu lalu, terlihat semburan api bersama kolom asap membubung setinggi 1,5 kilometer.
Namun, hasil temuan lapangan, dari jenis material yang berhamburan dan jarak hamburannya dari puncak, kemungkinan besar tinggi kolom asap lebih dari 1,5 kilometer. "Semua masih harus diteliti lagi," ungkapnya.
Belum lagi penelitian dituntaskan, letusan kedua muncul. Tiga kali dentuman keras terdengar hingga radius 12 kilometer. Ketinggian asap dilaporkan 3,5 kilometer bersamaan dengan muntahan bola api.
Mengenai dampak hujan abu vulkanik yang lebih jauh dari letusan pertama, hal itu disebabkan arah dan kekuatan angin menuju selatan.
Dari kedua letusan itu belum bisa dipastikan radius luncuran awan panas yang dihasilkan. Yang pasti, belum ada laporan korban tewas akibat luncuran awan panas pada letusan kedua.
Sejarah letusan Sejarah mencatat, pada 1930 terjadi letusan eksplosif Merapi. Lebih dahsyat dari dua letusan kali ini. Saat itu, titik terjauh luncuran awan panas dilaporkan mencapai 12 kilometer dari puncak.
Sebanyak 13 desa rusak parah dengan 1.369 orang tewas dan 2.100 ternak mati. Abu vulkanik setebal 40 sentimeter dan hujan lumpur mencapai Yogyakarta. Membandingkan dengan kondisi Yogyakarta pekan lalu, dampak letusan tahun 1930 jelas jauh lebih besar.
Bagaimana kondisi sebenarnya tahun 1930 itu? "Data kami sangat terbatas. Lagi pula, pemantauan saat itu tak secanggih sekarang," kata Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTK Sri Sumarti.
Secara visual, tanda-tanda gunung sebelum meletus dapat dikenali dari asap yang kian hitam dan membubung lebih tinggi serta ada pertumbuhan kubah lava. Guguran batuan juga tambah banyak. Secara seismik jadi lebih sering gempa dan tubuh gunung api menggembung (deformasi). Sebagai gambaran, Merapi sempat menggembung 3 meter sebelum letusan pertama lalu.
Menurut Sri, catatan-catatan seismisitas dan ciri lain itu tidak ada pada letusan tahun 1930. Keputusan peningkatan status Merapi didasarkan atas kondisi terbaru dan potensi bahayanya, termasuk mendasari rekomendasi pengungsian warga.
Erupsi khas Merapi berupa leleran lava dan awan panas itu pula yang selama ini banyak dicatat para peneliti. Erupsi yang khas Merapi.
Kini, tabiat Merapi berbeda. Tak hanya peneliti yang harus menyesuaikan diri, warga pun memiliki tetenger baru. Tak bisa lagi warga bertahan seperti letusan-letusan terdahulu.
Tabiat Merapi yang berbeda kini membawa banyak korban dan kian menyeramkan....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.