Jimin (60) terpaksa membongkar tanaman jagungnya yang ditanam di areal seluas 2.200 meter persegi. Padahal, tanaman itu baru berumur 1,5 bulan. Selanjutnya sawah bekas tanaman jagung itu dicangkul lagi untuk persiapan tanaman padi. Padahal, biasanya sawah tadah hujan baru mulai ditanaminya Desember.
Terlalu banyak hujan tidak bagus untuk tanaman jagung, buahnya tidak keluar. Jadi terpaksa saya bongkar," kata Jimin di sela-sela mencangkul sawahnya di Dusun Kadilangu, Desa Kadilangu, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jumat (1/10).
Akibat perubahan cuaca yang ekstrem ini, Jimin harus rela kehilangan panen jagung dan rugi sebesar Rp 250.000.
Sejumlah petani di desa tersebut juga mengambil langkah seperti Jimin, yakni membongkar tanaman jagung. Pada tahun-tahun sebelumnya, di bulan Agustus Jimin dan para petani memilih menanam jagung karena curah hujan masih minim. Jika ingin menanam padi harus mengambil air tanah dengan menggunakan mesin diesel dengan biaya yang sangat besar. Ternyata tahun ini tidak demikian. Cuaca tidak bisa diprediksi petani dan curah hujan pun lebih banyak.
"Petani bingung, biasa tanam jagung, eh 'kok malah hujannya banyak tidak seperti biasanya," kata Jimin.
Berbeda dengan Jimin, Yaidi (39), petani lainnya justru merasa beruntung. Curah hujan yang cukup banyak di musim yang seharusnya masih kemarau ini membuat dia tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk mengoperasikan mesin diesel untuk pengairan sawahnya.
Meskipun demikian, jika terus-menerus hujan turun, dia khawatir tanaman akan rentan terserang hama penyakit, seperti sundep dan belalang.
Perubahan cuaca juga dikeluhkan sejumlah petani di Kabupaten Semarang. "Mau menanam padi masih takut enggak bagus. Makanya saya memilih menanam kacang panjang saja," ujar Asmui (57), warga Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, saat ditemui Sabtu (2/10).
Menghadapi anomali cuaca yang terjadi saat ini, di satu sisi Asmui mensyukuri masih ada pasokan air untuk lahan pertaniannya seluas 1.000 meter persegi. Di sisi lain, dia khawatir serangan hama tikus pada saat memulai masa tanam padi nanti. Oleh karena itu, dia memilih menanam kacang panjang karena risiko rusaknya lebih kecil. Jika hasil panen cukup baik, dia bisa mengantongi Rp 2 juta.
"Kalau menanam padi, pada musim tanam kemarin itu di sekitar sini enggak ada yang bisa panen bagus karena dimakan tikus. Tikus itu suka tanah yang gembur habis terkena hujan," ujarnya.
Meskipun hujan hampir setiap hari turun, Supardan (57), petani di Desa Linggasari, Kecamatan Kembaran, Banyumas, tak tergoda untuk menanam padi karena khawatir sewaktu-waktu hujan selesai. "Sekarang ini cuaca benar-benar tak dapat diprediksi. Tapi, saya tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Agustus-September menanam palawija. Nanti kalau sudah November baru padi lagi," kata dia.
Cuaca ekstrem tahun ini membuat para petani bawang merah dan sayuran di wilayah pantura Tegal dan sekitarnya terpuruk karena produktivitas kedua komoditas tersebut rendah.
Sejumlah petani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Tegal mengaku rugi. Selain terendam banjir, tanaman bawang banyak terserang hama penyakit.
Pasangan Surti (50) dan Warkaya (65), petani di Desa Kepandean, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, mengaku tanaman bawang merah mereka gagal panen akibat terserang ulat.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mekar Tani Desa Pagejugan, Mashadi, mengatakan, sebagian besar petani bawang merah di wilayahnya gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrem. Dari sekitar 160 hektar tanaman bawang merah, sekitar 90 persennya gagal panen.
Selain harus menanggung kerugian, sebagian petani juga terbebani utang bank yang digunakan untuk modal usaha tanam bawang. (eki/gal/wie)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.